Jakarta (ANTARA News) - Salah satu dari program "Nawa Cita", Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, adalah ingin mengembalikan hukum sebagai "panglima" dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Hukum jangan sampai dipersepsikan tajam di bawah tumpul di atas, artinya jika yang bersalah itu orang lemah aparat hukum telah sigap menindaknya, namun jika yang bersalah itu pejabat atau penyelenggara negara, aparat hukum enggan menindaknya.
Oleh karena itu, Pemerintahan Joko Widodo dan JK akan segera melakukan reformasi hukum dengan membuat sistem yang lebih trasparan, memprioritaskan pemberantasan korupsi dan memerangi mafia peradilan agar peradilan hukum di Indonesia lebih dipercaya. Selama ini mafia peradilan ditengarai masih sulit diberantas.
Keinginan pemerintah membuat proses hukum yang lebih transparan penting karena selama ini aparat penegak hukum, minus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) persepsi masyarakat terhadap Peradilan, kejaksaan dan kepolisian masih dinilai lemah. Lembaga survei Kompas menyebutkan, selama lima tahun terakhir, (2009 - 2013) grafiknya tak beranjak dari angka 60 persen.
Program Nawa Cita, keinginan presiden tersebut telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019 yang telah diundangkan pekan lalu guna segera mengembalikan jati diri bangsa agar mempunyai daulat rakyat, daulat ekonomi dan daulat kebudayaan yang akan diimplementasikan dalam sembilan program pembangunan diantaranya, pembangunan sistem hukum nasional yang lebih transparan dan bebas dari korupsi.
Muncul pertanyaan, apakah program Nawa Cita luntur karena adanya putusan Praperadilan dari hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, SH yang menolak eksepsi KPK atau memenangkan Budi Gunawan ? Sarpin, hakim tunggal dari PN Jakarta Selatan yang ditunjuk menangani kasus Komisaris Besar Polri Budi Gunawan melawan KPK.
Terdegradasi
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (PPTHI) Dr. Laksanto Utomo, di Jakarta pekan lalu, program Nawa Cita dapat tergradasi jika ditemukan proses praperadilan adanya "teror" dan "mafia" dalam peradilan yang mempengaruhi putusan hakim Sarpin.
Jika ada anggota masyarakat yang menemukan proses tidak wajar, sebaiknya segera melaporkan kepada Komisi Yudisial (KY) yang saat ini sedang menunggu laporan masyarakat terhadap kemungkinan tindakan penyimpangan.
Kejanggalan terhadap Sarpin, kata Laksanto adanya rechtsvinding (penemuan hukum) yang dinilai kontra produktif terhadap perasaan masyarakat yang menginginkan KPK tetap kuat dan dipercaya masyarakat.
Kontra produktif itu terjadi lantaran hakim Sarpin keluar dari pakem hukum yang dianut selama ini dimana sistem hukum civil law, menganut hukum positif yang sudah dituangkan pada Pasal 1 (ayat 1) KUHP yang menyebutkan seseorang tidak dapat dipidana kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Aliran positifisme ini terus dikembangkan sejak ahun 1925 oleh ahli hukum Hans Kelsen dan para pengikutnya, menyatakan sumber hukum utama adalah Undang-undang.
Dalam RPJM Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hukum positif cukup menjadi pegangan karena itu pengadilan jarang melakukan lompatan penemuan hukum.
Doktrin hukum positif, tidak memungkinkan seorang tersangka dapat dipraperadilankan seperti layaknya BG. Dasarnya adalah bab I Pasal 1 poin 10 yang ditegaskan kembali pada Bab IX Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan antara lain, sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Jika dilihat dari pasal itu, tidak menyentuh pada kasus tersangka, tetapi kepada penangkapan atau penyitaan yang dilakukan oleh aparat hukum, di luar operasi tangkap tangan atau OTT.
Oleh karena itu, putusan hakim tunggal tersebut jika dilihat dari doktrin hukum positif harus ditolak oleh hakim Sarpin lantaran bertentangan dengan Pasal 1 KUHP dan Pasal 77 KUHAP. Itu sebabnya terjadi polemik apakah putusan Praperadilan BG termasuk rechstvinding atau justru perusakan sistem hukum nasional atau mereduksi Nawa Citanya Presiden Jokowi. Hal itu akan menjadi perdebatan hangat para ahli hukum di kemudian hari.
Putusan Kontraproduktif
Putusan Praperadilan yang terdiri dari enam poin, seperti mengabulkan permohonan Budi Gunawan, dan menyatakan penetapan sebagai tersangka tidak sah, Menyatakan surat perintah penyidikan terhadap BG tidak mempunyai kekuatan hukum, Menyatakan penyidikan KPK terkait tindak pidana pemberantasan korupsii tidak berdasarkan hukum dan Menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon adalah tidak sah.
Putusan itu dinilai oleh penggiat anti korupsi membuat kontra produktif dalam usaha melakukan pemberantasan korupsi. Mantan Hakim Agung Sarwoko menilai, putusan hakim Sarpin tidak dapat dikategorikan rechtsvinding karena materinya menyesatkan.
Konstruksi hukum nasional yang sudah dibangun sejak lama akan tergerus dengan adanya putusan hukum yang menyimpang dari kebiasaan hukum itu. "Sudah jelas seorang tersangka tidak masuk cakupan Praperadilan. Tetapi justru diterimanya bahkan yang mengejutkan tuntutan pemohon dikabulkan. Itu sesat namanya," katanya, seraya menambahkan, Hakim Agung perlu segara menganulir putusan itu dan memberikan sanksi kepada Sarpin, karena menafsirkan hukum seenaknya sendiri.
Nursyahbani Kancasungkana, advokat senior menyatakan, putusan Praperadilan dapat mengancam komitmen pemerintahan Jokowi melakukan pemberantasan korupsi. Mana mungkin program nawa cita di bidang penegakan hukum dapat optimal jika para hakimnya tidak mengerti terhadap kasus yang ditangani. Putusan tersebut akan melemahkan KPK dan sebagai bukti para aktor koruptor telah berhasil mengkriminalisasikan lembaga antirasuah itu.
Makdir Ismail dari tim kuasa BG berpendapat beda, ia mengatakan, KPK harus segera mengeksekusi putusan Praperadilan dengan menghentikan rencana penyidikan dan mencabut surat perintah penyidikannya karena terbukti KPK bersalah. "Tak ada alasan KPK tidak mengentikan proses penyidikannya setelah adanya putusan Praperadilan itu," katanya.
Laksanto Utomo menambahkan, semua pihak harus mengambil hikmah dari hasil putusan itu. Artinya BG dan Polri tidak perlu bersuka ria terlebih dahulu, karena mungkin saja KPK melakukan Peninjau Kembali (PK) meskipun hukum belum mengaturnya. Selain itu hasil keputusan Praperadilan justru menyulitkan aparat kepolisian dikemudian hari, dimana akan banyak kasus yang disangkakan oleh polisi dipraperadilkannya.
"Kemenangan BG justru kurang menguntungkan untuk penegakan hukum dimasa depan, baik Polri, Kejaksaan maupun KPK," katanya.
Khusus untuk KPK, Laksanto mengingatkan agar tidak mengulang kecerobohan, membocorkan Sprindik ke masyarakat dan mengumumkan seseorang sebagai tersangka tanpa pernah dipanggilnya terlebih dahulu, termasuk perlunya kehati-hatian dalam menentukan dua alat bukti yang dimilikinya.
Lembaga KPK yang secara nyata masih mendapat kepercayaan masyarakat perlu dijaga dan dirawat bersama, karena lembaga itu sudah terbukti mampu menangani berbagai kasus besar, seperti pengalihan lahan pertanian menjadi komersial, penyuapan para anggota DPR di sektor pertambangan, termasuk didalamnya berani menangkap Ketua Hakim Konstitusi Akil Muchtar yang melakukan pembuatan keputusan secara pat-gulipat, memenangkan Pilkada yang membayarnya.
Tugas Presiden Joko Widodo dan JK jika ingin mengoptimalkan program Nawa Citanya, ditengah korupsi yang masih terus menggelayuti aparat dan pemerintahnnya, harus berani berpihak kepada KPK, yang secara nyata dipercaya rakyat banyak dibanding instansi penegak hukum lainnya.
(Y005/A011)
Oleh Theo Yusuf
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015