Ankara (ANTARA News) - Turki pada Ahad (15/2) memutuskan untuk menghentikan operasi di kedutaan besarnya di Yaman, dan mengungsikan staf diplomatik akibat situasi keamanan yang memburuk di negeri itu, demikian laporan media Turki.
Ankara berencana menutup kedutaan besarnya di Ibu Kota Yaman, Sanaa, pada Ahad malam waktu setempat, setelah memperoleh kemungkinan untuk memulangkan warga negaranya secara aman, kata harian lokal Daily News, sebagaimana dikutip Xinhua.
Situasi keamanan telah memburuk di Yaman sejak Januari, ketika kelompok Syiah Al-Houthi merebut istana presiden di Sanaa. Sebelumnya bentrokan mematikan berkecamuk antara anggota Al-Houhti dan pengawal presiden.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu pada Sabtu (14/2) mengeluarkan peringatan baru perjalanan buat warga negara Turki, mendesak mereka agar segera meninggalkan Yaman.
Kebuntuan politik di Yaman juga membuat Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia dan Jerman menarik staf diplomatik mereka dari Sanaa, dengan alasan kondisi keamanan yang tidak stabil.
Pada 6 Februari, kelompok Al-Houthi mengumumkan kelompok tersebut secara membubarkan parlemen dan membentuk dewan presiden, tindakan yang ditolak oleh semua partai politik di Yaman dan dicela oleh negara Arab di Teluk.
Pada Jumat (13/2), Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengumumkan pembekuan semua operasi di Kedutaan Besarnya di Yaman karena kekhawatiran mengenai keamanan, demikian laporan kantor berita resmi Saudi Press Agency.
Staf kedutaan tersebut diminta meninggalkan Yaman dan pulang ke Arab Saudi, kata kementerian itu. Ditambahkannya, keputusan tersebut diambil saat kondisi politik dan keamanan di Ibu Kota Yaman, Sanaa, telah bertambah buruk.
Namun, kelompok Al-Houthi belum lama ini menyatakan negara Barat tak memiliki alasan untuk menutup kedutaan besar mereka, dan berkeras bahwa situasi keamanan di ibu kota Yaman "terkendali".
Kelompok Syiah Al-Houthi, yang juga dikenal dengan nama Ansarullah dan berpusat di Provinsi Utara-jauh Yaman, Saada, telah memperluas pengaruhnya ke arah utara, setelah menandatangani kesepakatan perdamaian dan pembagian kekuasaan --yang ditaja PBB-- pada 21 September 2014. Sebelumnya bentrokan maut berkecamuk selama satu pekan.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada Kamis (12/2) memperingatkan, "Yaman ambruk di depan mata kita." Ia mendesak masyarakat internasional agar "melakukan apa saja yang mungkin" guna membantu negeri itu kembali dari ambang kekacauan.
Dalam taklimat Jumat (13/2) Juru Bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan Kantor PBB Urusan Koordinasi Kemanusiaan (OCHA) menyatakan lebih dari 60 persen penduduk di Yaman --hampir 16 juta orang-- sangat memerlukan makanan, air bersih dan alat kebersihan.
UNICEF juga menyuarakan keprihatinannya sehubungan dengan krisis ekonomi yang merongrong negara di Jazirah Arab tersebut.
(C003)
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015