Jakarta (ANTARA News) - Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan menilai saat ini Bank Indonesia menghadapi dilema antara menggerakkan pertumbuhan ekonomi dengan suku bunga yang rendah atau tetap melakukan kebijakan ketat.
"Ini memang dilema yang dialami oleh BI, di satu sisi pemerintah menginginkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan Wakil Presiden juga sempat secara publik meminta BI menurunkan suku bunga, namun di sisi lain BI tidak bisa menurunkan suku bunga dengan mudah," ujar Fauzi di Jakarta, Jumat.
Fauzi menuturkan, Presiden Joko Widodo sewaktu kampanye memang sempat menjanjikan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen setahun.
Namun, lanjutnya, jika pertumbuhan ekonomi dipicu setinggi itu maka otomatis impor modal dan bahan baku ke Indonesia juga akan meningkat.
"Otomatis otomatis defisit neraca transaksi berjalan Indonesia melebar dan rupiahnya bisa semakin terpuruk," kata Fauzi.
Sementara itu, dari sisi ekspor sendiri tidak bisa dinaikkan secara tajam sebab 60 persen ekspor Indonesia dalam bentuk komoditas, tapi harga komoditas juga diperkirakan tidak akan naik tajam.
Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengelola ekonomi dengan baik yakni dengan mengerem pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini Bank Indonesia menerapkan suku bunga yang cukup tinggi 7,75 persen.
Bank Indonesia sendiri sempat menahan suku bunga acuan di level 7,5 persen selama 13 bulan sampai November 2013 lalu untuk mempertahankan agar defisit transaksi berjalan tidak semakin melebar.
Namun, ketika pemerintah menaikkan harga BBM pada bulan yang sama, BI langsung merespon dengan menaikkan suku bunga acuan 0,25 persen menjadi 7,75 persen.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015