Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 1999-2001, Sarwono Kusumaatmadja, membantah pengumpulan dana non budgeter di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah terjadi sejak masa jabatannya. "Itu tidak benar. Di jaman saya tidak ada. Tidak pernah ada kebijakan seperti itu, baik secara lisan maupun tertulis," kata Sarwono saat menggelar konferensi pers di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan Veteran, Jakarta, Selasa. Sarwono yang kini anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Jakarta periode 2004-2009 itu mengatakan dirinya siap untuk diperiksa apabila KPK membutuhkan keterangannya. Ia juga mengatakan, keterangannya siap untuk dikonfrontir dengan keterangan mantan Menteri DKP periode 2001-2004, Rokhmin Dahuri. "Jika diperlukan, saya akan penuhi panggilan KPK. Saya akan berusaha untuk membantu KPK memberantas korupsi dan menegakkan hukum," tuturnya. Rokhmin telah ditetapkan sebagai tersangka pengumpulan dana non budgeter di DKP selama kurun 2002-2004 sejumlah Rp31,7 miliar. Dalam pemeriksaan di KPK, Rokhmin mengatakan, ia hanya meneruskan kebiasaan yang telah ada sebelumnya di DKP. Pengumpulan dana non budgeter itu, menurut Rokhmin, telah ada sejak Sarwono menjabat sebagai menteri. Sarwono mengatakan, pada masa jabatan Rokhmin, sejak 2001 hingga 2004, ia menjabat sebagai penasehat menteri. Ia mengaku, honor yang diterimanya sebagai penasehat menteri, besarnya sama dengan pejabat eselon satu sebesar Rp13 juta per bulan. Honor itu diterima secara tunai. "Honor itu berasal dari APBN. Dari dana operasional menteri yang dapat dikeluarkan sesuai diskresi dari menteri," ujarnya. Ia menambahkan, sepengetahuan dirinya sebagai mantan menteri, dana operasional menteri yang berasal dari APBN sebesar Rp150 juta per bulan. Saat Sarwono menjadi anggota DPD pada 2004, ia sudah tidak lagi menjabat sebagai penasehat menteri dan hanya menjadi anggota dewan maritim yang honornya hanya sebesar Rp500 ribu per bulan. Namun, menurut sumber ANTARA, dalam pemeriksaan di KPK, Rokhmin sempat memperlihatkan beberapa bukti transfer dari staf Sekjen DKP, Didi Sadili, kepada Sarwono. Kepala Bagian Tata Usaha DKP, Fifi Rifiani, pernah mentransfer uang kepada Sarwono, selama kurun Januari hingga Februari 2004, antara lain ke dua rekening milik Sarwono di Bank Mandiri dan Citibank cabang Gedung Landmark, Jakarta, sebanyak tiga kali, dua kali masing-masing sebesar Rp50 juta dan yang ketiga sebesar Rp330 juta. Dalam pemeriksaan, Rokhmin mengatakan tidak tahu tentang transfer dana itu dan tidak pernah menerima laporan dari Sekjen soal transfer tersebut. Sarwono membantah telah menerima uang tersebut. "Itu tidak benar," ujarnya. Sarwono tampak cukup percaya diri bahwa dirinya tidak akan tersangkut kasus yang kini telah menjerat Rokhmin. "Amat sangat kecil kemungkinan saya menjadi terdakwa," katanya. Sarwono tidak mau berkomentar soal pengumpulan dana non budgeter yang mencapai Rp31,7 miliar di departemen yang pernah dipimpinnya itu. "Saya tidak bisa komentar soal itu," ujarnya. Sarwono mengaku tahu soal proyek perusahaan perikanan yang dimiliki oleh pengusaha Tomy Winata di Tual, Maluku, yang dibuka pada 1997. "Tapi saya tidak tahu detilnya. Saya hanya tahu Tomy Winata begitu saja, artinya, kalau Tomy lewat di sini saya tahu bahwa itu Tommy," ujarnya. Sarwono mengatakan kedatangannya ke KPK untuk menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang telah diperbaharui setelah ia menjabat anggota DPD selama dua tahun. Harta kekayaan Sarwono yang dilaporkan sebesar Rp5,8 miliar yang terdiri atas harta tidak bergerak sebesar Rp4,5 miliar, tabungan sebesar Rp1 miliar, dan harta bergerak yang terdiri atas tiga mobil senilai Rp300 juta.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006