Jakarta (ANTARA News) - Kalangan ahli geologi, geofisika, dan perminyakan harus segera bertemu untuk menyatukan pandangan dan merumuskan metode yang paling tepat untuk mengantisipasi ancaman berikut dari semburan lumpur panas Sidoarjo. Pertemuan ahli mendesak, bukan saja karena upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini terkesan lamban, juga karena para ahli sendiri masih berbeda pandangan, terutama dalam memahami penyebab semburan lumpur panas tersebut, kata Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Effendi Siradjudin, di Jakarta, Senin. "Kalau ahlinya saja belum satu pandangan, patut dipertanyakan apakah upaya penanggulangan yang selama ini dilakukan sudah sesuai dengan kondisi faktual, khususnya di bawah permukaan bumi," katanya. Effendi menyampaikan hal itu sehubungan dengan rencana Aspermigas menggelar temu ahli untuk membahas lumpur panas Sidoarjo di Jakarta, pada 7 Desember mendatang. Selain melakukan kajian teknis-ilmiah berkaitan dengan penyebab semburan lumpur panas Sidoarjo, temu ahli juga akan membahas alternatif penanggulangan yang sudah maupun yang seharusnya dilakukan. Kegiatan ini akan diikuti oleh 200 peserta yang mewakili unsur perguruan tinggi, organisasi-organisasi profesi (geologi, geofisika, perminyakan), birokrasi, dan lembaga swadaya masyarakat. "Logikanya, jika pemahaman ilmiahnya benar dan seragam, metode penanggulangan yang tepat akan bisa didapat," tutur Effendi. Ahli geologi Dr. Ir. Edy Sunardi, MSc membenarkan bahwa para pakar sampai sekarang masih belum satu suara dalam "membaca" penyebab semburan lumpur panas itu. Menurut Edy Sunardi, yang juga Kepala Departemen Pengembangan Ilmu - Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), saat ini ada tiga hipotesis yang berkembang. Pertama, akibat kesalahan dalam proses pemboran (drilling error), seperti yang selama ini diyakini oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. Kedua, akibat gempa di perut bumi yang memicu pembentukan rekahan baru, sehingga rekahan yang sebelumnya kedap (impermeable) menjadi terbuka, dan menjadi tempat keluarnya lumpur. Hipotesis ini didukung oleh fakta bahwa semburan lumpur Sidoarjo terjadi bersamaan (selang dua hari) dengan gempa di Yogyakarta. Ketiga, terkait dengan keberadaan gunung lumpur (mud volcano) berusia ribuan tahun di bawah lokasi pemboran. Di Jawa Timur merupakan kejadian yang ke-7, dimana yang ke-6 sebelumnya tidak berkaitan dengan pemboran. "Kalau merujuk hipotesis kedua dan ketiga, maka kegiatan dalam pemboran mungkin hanyalah salah satu trigger (pemicu) dari berlangsungnya sebuah fenomena alam," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006