Masyarakat menginginkan pilkada dilangsungkan hanya dalam satu putaran. Sebanyak 53 persen menginginkan pilkada satu putaran saja berapapun persentase kemenangannya. Sisanya yang menyetujui pilkada dilakukan dua putaran hanya sebesar 39,2 persen dan

Jakarta (ANTARA News) - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan publik menginginkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dilakukan satu putaran saja agar segera memberi kepastian politik dan menghemat dana.

"Masyarakat menginginkan pilkada dilangsungkan hanya dalam satu putaran. Sebanyak 53 persen menginginkan pilkada satu putaran saja berapapun persentase kemenangannya. Sisanya yang menyetujui pilkada dilakukan dua putaran hanya sebesar 39,2 persen dan yang tidak tahu sebesar 7,8 persen," kata Peneliti LSI Denny JA Fitri Hari di Jakarta, Selasa.

Fitri mengatakan publik menginginkan proses pilkada cepat selesai agar pemerintah daerah dapat segera bekerja dan tidak terhambat proses yang berlangsung lama hingga berbulan-bulan jika putaran kedua dilakukan.

Selain itu, kata dia, proses pilkada yang pendek juga merendam konflik atau jika konflik sudah terjadi, penyelesaiannya dapat lebih cepat dilakukan.

Cara lain untuk mengantisipasi konflik, tutur dia, adalah adanya kesepakatan antarcalon kepala daerah untuk melakukan satu putaran tanpa penetapan ambang batas.

"Sebenarnya kalau potensi konflik satu atau dua putaran tetap ada, tapi dengan satu putaran penyelesaiannya akan lebih cepat. Selain itu, calon kepala daerah juga harus melakukan kesepakatan dalam melakukan satu putaran agar legowo dan meredam konflik dari pendukungnya," kata dia.

Yang ingin direvisi masyarakat, ujar dia, adalah Perppu Nomor 1 tahun 2014 pasal 107 ayat 1,2,3 yang mengatur mengenai kemungkinan pilkada berlangsung satu putaran atau lebih, tergantung pada ambang batas yang telah ditentukan.

Selain pilkada satu putaran, survei LSI juga menyebutkan mayoritas masyarakat mendukung diberlakukannya calon independen dalam pilkada, yakni sebesar 55,3 persen, sedangkan yang tidak mendukung sebesar 36,7 persen dan yang tidak menjawab sebesar 8 persen.

Masyarakat, kata dia, setuju tidak adanya pembatasan rekrutmen calon kepala daerah hanya dari partai agar tidak menutup kesempatan calon yang berkualitas yang tidak tergabung dalam partai.

Sementara itu, survei yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia itu juga menyatakan sebesar 53,71 persen responden tidak setuju adanya larangan calon kepala daerah yang mempunyai garis kekerabatan dengan petahana.

Larangan calon kepala daerah dari dinasti politik, kata dia, dinilai publik sebagai bentuk pelanggaran HAM karena berpolitik adalah hak semua warga negara.

"Pasal 7 ayat Q Perppu Nomor 1 2014 berisi tentang adanya larangan konflik kepentingan dengan petahana. Pelarangan calon yang memiliki kekerabatan dengan petahana itu dinilai melanggar HAM karena membatasi hak berpolitik," ujar dia.

Sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberi masukan kepada Komisi II DPR RI terkait usulan poin-poin revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan usulan tersebut antara lain terkait proses penyelesaian sengketa pilkada, uji publik dan ketentuan definisi hari apakah hari kerja atau hari kalender.

Sebanyak 14 poin usulan KPU terhadap revisi UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, yang di antaranya menyangkut siklus pemilihan serentak, definisi hari, uji publik, syarat bakal calon, panitia uji publik, mekanisme seleksi Panitia Uji Publik dan penyampaian syarat dukungan calon perseorangan.

Kemudian juga usulan ketentuan syarat calon, pelaksanaan kampanye, logistik, pemungutan suara, rekapitulasi, penyelesaian sengketa dan penyelesaian sengketa hasil pemilihan.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015