Karakas (ANTARA News) - Dengan meneriakkan "revolusi kekal," Presiden Hugo Chavez yang anti AS terpilih kembali dengan suara mayoritas besar setelah penantangnya mengaku kalah, Minggu. Chavez, 52 tahun, memperoleh mandat kuat untuk menjalankan revolusi sosialisnya dalam enam tahun ke depan dan memperkuat front anti AS di Amerika Latin untuk melawan apa yang ia sebut "imperialisme" negara adikuasa itu. Para pengecam, termasuk Washington, yang menganggap Chavez sebagai ancaman kawasan itu, khawatir sekutu Kuba itu akan meningkatkan pembelian senjata dan pengaruh dari keuntungan harga minyak yang tinggi pada anggota organisasi pengekspor minyak OPEC. Dewan Pemilihan Nasional mengatakan Chavez meraih 61 persen suara sementara Manuel Rosales, gubernur satu propinsi penghasil minyak yang bergabung dengan oposisi, memperoleh 38 persen setelah 87 persen suara dihitung. Dengan mengenakan kemeja merah, Chavez merayakan dengan mengacungkan kepalan tinju dan menyanyikan lagu kebangsaan di sebuah balkon di istana presiden. Chavez, yang menyebut Presiden AS George W.Bush seekor "keledai," "Pemabok"-- dan terburuk-- mencap sejawat AS nya itu Setan dalam satu pidato yang mempersembahkan kemenangannya kepada pemimpin Kuba Fidel Castro yang sakit. "Ini adalah kekalahan lain untuk setan yang ingin menguasi dunia itu," katanya pada ratusan pendukung. Dengan melambai-lambaikan bendera nasional berwarna mereh-biru dan kuning, para pendukung itu meneriakkan kata-kata yang mendukung Chavez, sementara kembang api terlihat menyala di udara dan tentara berangkulan untuk merayakan kemenangan mantan anggota pasukan payung itu. "Kami mengakuai mereka mengalahkan kami hari ini tapi kami akan terus berjuang," kata Roasales, 53 tahun dan seorang ayah dari 10 anak yang mendapat dukungan utama dari kelompok menengah dan atas di negara itu. Chavez, yang dipanggil "El Comandante" oleh para pengikutnya, berikrar akan menggunakan mandat barunya itu untuk menghapuskan batas masa jabatan presiden dan membentuk partai tunggal yang ia harapkan memimpin negara itu selama puluhan tahun. Ia juga bertujuan agar negara menguasai lebih jauh industri penting negara itu, minyak, demikian Reuters.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006