Pasien di sini memang ada yang ingin dapat (obat) jamu saja, tapi ada juga yang mau campuran dengan obat konvensional. Jadi istilahnya Poliklinik Rosela sudah terintegrasi dengan pelayanan konvensional,"

Klaten, Jateng (ANTARA News) - Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Soeradji Tirtonegoro (Klaten) menggiatkan integrasi penggunaan obat herbal pada pelayanan fasilitas kesehatan melalui Poliklinik Rosela dengan memaksimalkan hasil saintifikasi jamu.

"Pasien di sini memang ada yang ingin dapat (obat) jamu saja, tapi ada juga yang mau campuran dengan obat konvensional. Jadi istilahnya Poliklinik Rosela sudah terintegrasi dengan pelayanan konvensional," kata Direktur Medik dan Keperawatan RSUD Dr Soeradji Tirtonegoro, Djoko Windoyo di Klaten, Jawa Tengah (Jateng), Jumat.

Pasien di Poliklinik Rosela yang merupakan salah satu jejaring Klinik Saintifikasi Jamu Tawangmangu di bawah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) pada awal dirintis, menurut dia, cukup ramai pasien. Namun saat layanan kesehatan berbasis penelitian tersebut tidak lagi menggratiskan layanan dan obatnya, jumlah pasien menurun.

"Hambatannya karena (obat herbal atau jamu) tidak dijamin oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) ya susah juga," ujar dia.

Selain itu, menurut dia, kendala lain yang sering dihadapi untuk menggiatkan obat herbal atau jamu karena masih ada dokter yang "alergi" terhadap jamu mengingat belum semua ada bukti ilmiah.

"IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sendiri masih belum 100 persen setuju (dengan obat herbal). Walau begitu kita tetap jalan, mungkin kalau sudah banyak bukti ilmiahnya dokter akan semakin banyak menerima," ujar dia.

Untuk tetap dapat meningkatkan layanan kesehatan dengan saintifikasi jamu, menurut dia, dokter-dokter di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro memang diminta untuk juga dapat mengarahkan pasien mengintegrasikan obat herbal.

"Kebanyak memang dokter ortopedi dan rawat jalan yang mau mengirim pasiennya ke Poliklinik Rosela. Memang butuh waktu untukk dapat membuat dokter menerima obat-obat herbal," kata Djoko.

Sebelumnya, Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kemkes Linda Maura Sitanggang saat berkunjung ke B2P2TOOT Tawangmangu mengatakan jamu yang merupakan ramuan asli Indonesia sudah mulai banyak dibuat dalam bentuk ekstrak, dan beribu-ribu sudah memiliki ijin edar.

Menurut dia, karena jamu bersifat kekhasan maka tidak perlu pula 100 persen sampai tahap fitofarmaka. Namun yang perlu dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian dan pengembangan yakni keamanan, mutu, khasiat obat tradisional tersebut.

Sedangkan untuk dapat masuk ke dalam daftar Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditentukan Menteri Kesehatan, dan harus berupa obat esensial. Misalkan jamu masuk JKN, lanjutnya, harus berdasarkan bukti ilmiah yang dikumpulkan baik berkhasiat dan harus memiliki "cost efective".

"Tapi kita tidak usah putus asa, karena jika dalam pelanyanan dasar sudah baik maka bisa diusulkan Dinas Kesehatan untuk ketersediaan jamu untuk pengobatan tradisional di Puskesmas. Makanya di Puskesmas sekarang sudah ada layanan itu," ujar dia.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015