Bogor (ANTARA News) - Kehilangan penerimaan pajak dari kegiatan ekonomi yang tidak resmi dan tidak legal (underground economy) di tanah air cukup besar, karena diperkirakan mencapai sekitar Rp263 triliun.
"Ada kegiatan underground ekonomi (ekonomi bawah tanah) yang tidak bisa terdeteksi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga tidak masuk dalam perhitungan BPS," kata Direktur Penyuluhan Perpajakan Ditjen Pajak Departemen Keuangan, Erwin Silitonga, di sela pelatihan perpajakan untuk wartawan di Bogor akhir pekan ini.
Menurut Erwin, kegiatan ekonomi tidak resmi dan tidak legal itu antara lain praktek ilegal trading (seperti penyelundupan), praktek illegal logging, illegal fishing, illegal mining, penambangan pasir laut, dan lainnya.
"Bagaimanapun juga itu memberikan sumbangan kepada perekonomian, tetapi tidak bisa dipajaki, karena memang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT)," katanya.
Ia menyebutkan besarnya kehilangan penerimaan pajak dari underground ekonomi berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Tetapi yang jelas makin maju suatu negara, makin kecil angka kehilangannya.
Erwin mencontohkan adanya penelitian di Thailand yang mengungkapkan bahwa besarnya kegiatan ekonomi bawah tanah di negara itu mencapai sekitar 63 persen dari PDB. Untuk Indonesia tidak tertutup kemungkinan lebih besar lagi, karena banyak pulau-pulau sehingga pengendalian atau pengawasannya lebih sulit.
"Andaikata angkanya sama dengan yang ada di Thailand, maka dengan angka PDB sekitar Rp1.750 triliun dan tarif pajak sebesar 15 persen hingga 30 persen, maka penerimaan pajak yang lolos mencapai sekitar Rp263 triliun," jelasnya.
Reformasi Perpajakan
Menurut Erwin, pemerintah terua melaksanakan reformasi perpajakan baik menyangkut aspek administrasi perpajakan maupun dari aspek organisasinya.
"Dalam lingkup administrasi perpajakan, hingga saat ini terus dikembangkan penyusunan database perpajakan nasional. Saat ini database pajak baru berisi 10 juta nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan sekitar 30 juta nomor obyek pajak (NOP)," katanya.
Ia menyebutkan pihaknya terus mengembangkan database pajak itu sehingga dapat masuk dalam sistem database yang bersifat jaringan (networking).
Dari sisi fisik dan pelayanan, jelasnya, dari 400 kantor pajak, hingga saat ini sebanyak 33 kantor pajak sudah dimodernisasi. Sisanya sebanyak 366 kantor pajak diharapkan sudah dimodernisasi paling lambat akhir 2008.
"Tadinya direncanakan semua dapat dimodernisasi hingga 2009, tetapi kemudian dipercepat jadi 2008," jelasnya.
Sementara itu, dari sisi organisasi, Ditjen Pajak akan membentuk direktorat baru yaitu Direktorat Penyidikan Pajak guna memperkuat penegakan hukum bidang pajak.
"Sebelum akhir tahun 2006 ini bisa diumumkan kalau sudah disetujui oleh Menpan. Sekarang masih dalam rencana yang perlu dimatangkan," katanya.
Ia menjelaskan Direktorat Penyidikan akan membawa kasus-kasus yang terkait dengan pajak ke pengadilan pidana, sehingga memerlukan kerjasama dengan pihak Polri selaku koordinator pengawas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).
Saat ini Ditjen Pajak memiliki sekitar 500 PPNS yang sebelumnya merupakan pemeriksa pajak kemudian ditingkatkan menjadi penyidik bekerja sama dengan Polri.
"Dengan adanya direktorat penyidikan, maka
law enforcement tidak hanya pemeriksaan pajak saja, tetapi juga penyidikan. Sebagian kasus-kasus underground ekonomi mungkin nanti akan ditangani direktorat penyidikan," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006