Balikpapan (ANTARA News) - Sudah lebih dari 7.500 orang meneken atau menandatangani petisi berjudul Tambang Maut di laman Change.org untuk keprihatinan atas tewasnya sembilan anak di lubang bekas tambang-tambang batubara di Samarinda, Kalimantan Timur.
"Anak-anak itu semua masa depan kita dan tewas begitu rupa hanya karena kelalaian kita menegakkan aturan," kata pembuat petisi, Yulita Lestiawati, warga Balikpapan, kota 110 km di selatan Samarinda, Rabu.
Petisi itu meminta agar Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup segera bertindak menegakkan hukum dan memberikan penawar bagi rasa keadilan masyarakat.
Hingga hari ini tidak ada siapa pun dari perusahaan-perusahaan tersebut yang ditindak oleh pemerintah, baik oleh kepolisian, Pemkot Samarinda, atau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memiliki otoritas atas tambang.
"Semua diselesaikan dengan pemberian uang santunan dan kejadiannya dianggap musibah. Itu tidak akan menghentikan musibah itu untuk terjadi dan terjadi lagi," katanya.
Dalam petisi itu juga disertakan kutipan dari ibunda Muhammad Raihan Saputra, yang ketika tewas tenggelam di tambang milik PT Graha Benua Etam pada 22 Desember 2014.
"Saya harap tidak ada lagi korban yang jatuh ke lubang tambang. Cukuplah sudah Raihan anak saya jadi korban terakhir. Saya berharap kepada pemerintah, khususnya Bu Menteri agar cepat-cepat menyelesaikan masalah ini," kata Rahmawati.
Muhammad Raihan Saputra, tewas dalam usia sembilan tahun dan anak ke-9 yang tewas tenggelam di kolam bekas tambang di Samarinda sejak 2011.
Raihan tewas pada Senin (22/12) di kolam bekas tambang batubara PT Graha Banua Etam di Sempaja Utara, Samarinda. Tubuhnya ditemukan tenggelam pada kedalaman 8 meter.
"Sejak 13 Juli 2011, ada lima kejadian dengan korban tewas sebanyak sembilan orang yang seluruhnya anak-anak," kata Theresia Jari, aktivis Jaringan Tambang (Jatam) Kalimantan Timur.
Jatam membuat daftar kejadian-kejadian tersebut. Dalam daftar itu disebutkan nama korban, tanggal kejadian, lokasi kejadian, dan hasil penanganannya oleh pihak berwenang.
Pada 13 Juli 2011, tiga anak tewas bersama di lubang bekas tambang batubara milik Hymco Coal. Atas tewasnya Miftahul Jannah, Junaidi, dan Ramadhani itu, Pemkot Samarinda memberi sejumlah uang tali asih.
Lima bulan kemudian, sepasang anak usia enam tahun, yakni Eza dan Ema, ditemukan tak bernyawa di kolam bekas tambang batubara PT Panca Prima Mining pada 24 Desember 2011 dekat perumahan Sambutan Idaman Permai, Pelita 7, Samarinda.
Pemkot menganggap masalahnya selesai dengan memberi uang santunan.
"Dua kejadian yang relatif dekat waktunya membuat masyarakat waspada. Namun karena akar masalahnya tidak diselesaikan, anak tewas di lubang tambang tetap terjadi, walau setahun kemudian," kata Theresia.
Pada 25 Desember 2012, nasib malang menimpa Maulana Mahendra, 11 tahun. Maulana tewas tenggelam di galian bekas tambang batubara milik Said Darmadi di Blok B RT 18 Simpang Pasir, Palaran, Samarinda.
Kolam bekas tambang ini sebetulnya relatif dangkal, hanya sedalam 150 cm dan luasan 10X10 meter, namun karena Maulana tak sempat ditolong saat terjebak lumpur di dasar kolam, ia pun akhirnya tewas tenggelam.
"Kami tidak tahu perkembangan kasusnya yang diusut secara pidana oleh kepolisian," tambah Theresia.
Kejadian terakhir sebelum kasus Raihan menimpa Nadia Zaskia Putri, murid kelas V SD yang meninggal tenggelam di galian bekas tambang batubara PT Cahaya Ramadhan di RT 48 Kelurahan Rawa Makmur, Palaran, Samarinda.
Tidak ada kasus hukum dari tewasnya Nadia, namun dikabarkan keluarga mendapat santunan.
"Nadia tewas tepat sehari sebelum pemilu legislatif lalu. Ia tenggelam pada 8 April 2014," demikian Theresia.
Pewarta: Novi Abdi
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015