KPK sama sekali tidak ada niat untuk sok dan berada di atas hukum..."

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menjamin lembaga yang dipimpinnya hanya berupaya menegakkan hukum dan tidak bertindak politis terkait dengan meningkatnya ketegangan antara KPK dan Polri.

"Kami jamin apa yang kami lakukan adalah murni penegakkan hukum, bukan tindakan-tindakan politik," kata Abraham dalam konfernsi pers di gedung KPK Jakarta, Senin.

KPK dan Polri kembali tegang menyusul penetapan calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 pada 13 Januari 2015.

Ia juga menegaskan KPK tidak berniat sok di atas hukum.

"KPK sama sekali tidak ada niat untuk sok dan berada di atas hukum bahkan apa yang kami lakukan saat ini adalah upaya untuk menegakkan hukum terkait penanganan kasus BG (Budi Gunawan)," tambah Abraham.

Dalam pidato pada 25 Januari 2015 lalu, Presiden Joko Widodo sempat memperingatkan dua institusi penegak hukum itu agar tidak merasa sok di atas hukum.

"KPK dan polri harus bahu membahu bekerja sama memberantas korupsi. Biarkan KPK bekerja. Biarkan Polri bekerja dan semuanya tidak boleh merasa sok di atas hukum. Keduanya harus membuktikan bahwa mereka bertindak benar sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, sekali lagi proses hukum harus transparan, terang-benderang dan jangan sampai ada kriminalisasi," kata Jokowi.

Konflik makin memanas karena Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto lalu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010. Bambang bahkan ditangkap Bareskrim Polri pada 23 Januari dan berada di gedung tersebut hingga 24 Januari dini hari.

Penangkapan itu merupakan tindak lanjut laporan yang dibuat pada 19 Januari 2015 oleh anggota DPR periode 2009-2014 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sugianto Sabran pada 19 Januari 2015. Sugianto adalah calon bupati Kotawaringin Barat yang bersengketa di MK pada 2010.

Abraham sendiri sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Direktur Eksekutif KPK Watch M Yusuf Sahide karena dinilai melanggar pasal 36 dan pasal 64 Undang-undang No 30 tahun 2002 tentang KPK. Yusuf mengungkapkan artikel Rumah Kaca Abraham Samad yang ditulis Sawito Kartowibowo di laman Kompasiana pada 17 Januari 2015.

Yusuf selanjutnya menyebut pelaporan itu pun berdasarkan pengakuan pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

Selanjutnya Adnan Pandu Praja dilaporkan pada 24 Januari 2015 oleh ahli waris pemilih PT Deasy Timber karena diduga memalsukan surat akta perusahaan pada 2005 saat menjadi kuasa hukum perusahaan yang bergerak dalam bidang hak pengelolaan hutan (HPH) tersebut.

Pada 28 Januari, Zulkarnain dilaporkan ALiansi Masyarakat Jawa Timur karena diduga menerima uang dan gratifikasi berupa mobil saat mengani tindak pidana korupsi Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada 2008 yang menjadikan 186 orang sebagai tersangka.

Zulkarnain menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sat itu. Ia diduga melakukan tebang pilih atas penetapan 186 tersangka yang merupakan penerima P2SEM misalnya tidak memeriksa Gubernur atimm Imam Utomo dan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakt Suyono.

Bila ketiga pimpinan KPK yang tersisa menjadi tersangka, maka KPK pun tidak memiliki pimpinan.

"Bila mengacu UU No 30 tahun 2002 pasal 32 ayat 2, bila pimpinan KPK berstatus tersangka maka diberhentikan sementara melalui keputusan presiden. Jadi kalau semua tersangka dan semua non aktif artinya KPK tidak punya pimpinan karena semua non aktif," kata Deputi Pencegahan Johan Budi dalam konferensi pers yang sama.

Johan meminta Presiden Joko Widodo bertindak untuk mencari solusi kondisi itu.

"Saya kira ini saatnya Presiden Jokowi turun tangan. Hanya presiden yang bisa menyelesaikan maslaah ini karena kalau semua tersangka KPK tidak bisa jalan organisasinya karena di UU itu yang bisa menjalankan organisasi adalah pimpinan KPK," tambah Johan.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015