Menurut saya, sebaiknya tidak semata-mata hukum, tapi ada penyelesaian demi keutuhan bangsa dan negara. Itu penyelesaian yang lebih baik dan di atas penyelesaian hukum,"

Surabaya (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung (MA) HM Hatta Ali menyarankan polemik KPK-Polri sebaiknya tidak diselesaikan dengan semata-mata hukum (yuridis), meski masa kedaluwarsa kasus para komisioner KPK dan kasus korupsi seorang jenderal Polri itu masih memungkinkan.

"Menurut saya, sebaiknya tidak semata-mata hukum, tapi ada penyelesaian demi keutuhan bangsa dan negara. Itu penyelesaian yang lebih baik dan di atas penyelesaian hukum," katanya ketika ditemui di sela persiapan pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar FH Unair di Kantor Manajemen Unair Surabaya, Jumat.

Ia mengemukakan hal itu menanggapi kasus yang menimpa calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) yang merupakan kasus saat dirinya menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006, sedangkan kasus untuk komisioner KPK Bambang Widjojanto (BW) terjadi pada 2010.

"Sulit bagi saya untuk berpendapat, karena KPK dan Polri itu merupakan lembaga penegak hukum yang sama-sama memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menyidik, yakni KPK mempunya kewenangan dalam pidana korupsi, sedangkan Polri berwenang dalam pidana umum dan pidana korupsi," katanya.

Namun, kedua lembaga penegak hukum itu sama-sama digugat pra-peradilan oleh pendukung BG dan BW. "Kalau dari masa kedaluwarsa sebuah kasus itu telah diatur dalam Pasal 78 KUHAP bahwa masa kedaluwarsa kasus itu bisa setahun dan maksimal 18 tahun," katanya.

Menurut alumni FH Unair (1977) itu, kasus BG dan BW itu sama-sama masih memungkinkan dalam masa kedaluwarsa dari sebuah kasus, tapi masalahnya bukan soal kedaluwarsa, melainkan keduanya saling memanaskan situasi secara beruntun.

"Saya kira KPK dan Polri itu nggak usah panas-panasan, tapi yang dingin-dingin saja, karena itu sebaiknya jangan semata-mata hukum, tapi saya kira terserah kepada Presiden untuk menyelesaikan demi keutuhan bangsa dan negara," katanya.

Dalam pidato pengukuhannya, ia menyatakan serangkaian reformasi hukum yang telah dijalankan, di antaranya transparansi putusan pengadilan lewat laman/website, pembatasan maksimal penyelesaian perkara di tingkat MA hingga tiga bulan dengan sanksi bagi pelanggar, dan sebagainya.

Terkait wacana sengketa pilkada akan diserahkan sebagian kepada jajaran MA dan bukan semata-mata MK, Ketua MA itu mengaku badan peradilan selama ini sudah kewalahan dalam memutuskan perkara pidana, perdata, TUN, agama, dan militer.

"Untuk itu, kami sebaiknya tidak dibebani lagi, apalagi kasus pilkada itu lebih berunsur politis daripada hukum, sehingga jangan seret lembaga peradilan ke arah kepentingan politis," katanya.

Selain itu, peradilan pilkada di MK itu lebih efektif, karena MK berada di Jakarta, sehingga pengerahan massa akan sulit terjadi dalam skala besar. "Belum lagi, pengamanan di Jakarta cukup kuat dibandingkan dengan daerah lain," katanya.

Namun, katanya, bila UU memerintahkan MA untuk menangani sengketa pilkada dalam skala daerah, maka apa boleh buat. "Kalau perintah UU ya kami siap-siap saja, tapi lebih baik jangan di badan peradilan (MA)," katanya.

Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015