"Di era perdagangan bebas seperti saat ini, peningkatan daya saing menjadi salah satu kunci ketahanan industri nasional," ujar Dirjen Kerjasama Industri Internasional Agus Tjahajana di Jakarta, Jumat.
Sementara itu, lanjutnya, untuk mengukur daya saing industri nasional, salah satu indikator yang dipakai adalah indeks Revealed Comparative Advantages (RCA).
Menurutnya, pada 2015, diperkirakan dari 5.017 produk, terdapat 1.122 produk berdaya saing kuat, di mana sebanyak 929 atau 82,79 persen merupakan produk industri.
Sementara itu, pada tahun 2020, diprediksi total produk Indonesia yang berdaya saing kuat sebanyak 1141 produk, dimana 946 produk atau 82,90 persen merupakan produk industri.
Perkiraan RCA tahun 2015 dan 2020 yang dihitung berdasarkan perkiraan pertumbuhan industri di tahun tersebut, daya saing produk industri Indonesia masih berada dibawah Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Ia menambahkan, produk industri Indonesia yang berdaya saing sekitar 22,15 persen, sedangkan Singapura 41,95 persen dan Thailand 38,78 persen.
"Oleh karena itu, salah satu kerjasama internasional di bidang industri yang saat ini menjadi fokus perhatian pemerintah adalah pemberlakuan Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir 2015," kata Agus.
Dalam upaya menghadapi tantangan tersebut, lanjutnya, sejumlah langkah dan kebijakan bersifat lintas sektoral yang telah dijalankan Kemenperin, antara lain mengintensifkan sosialisasi AEC 2015 kepada stakeholder industri, mengusulkan percepatan pemberlakuan safeguard dan anti-dumping bagi produk impor tertentu.
Kemudian, menambah fasilitas laboratorium uji, meningkatkan kompetensi SDM industri, penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pada masing-masing sektor industri, penguatan IKM, dan pengembangan wirausaha baru industri.
Di samping itu, tambahnya, strategi pengamanan industri yang diterapkan Kemenperin yaitu bersifat ofensif dan defensif, yang dilakukan dengan cara penggunaan instrumen trade remedies maupun penerbitan smart regulation.
Sifat ofensif dilakukan dengan cara melakukan pemantauan impor maupun unfair trade produk tertentu dan mendorong industri dalam negeri yang berpotensi terkena dampak kerugian yang serius dari impor tersebut untuk melakukan permohonan trade remedies kepada otoritas terkait.
"Sedangkan, sifat defensif dilakukan apabila industri dalam negeri terkena tuduhan trade remedies oleh negara lain," ujar Agus.
Kemenperin juga telah membangun sistem Industrial Resilience Information System (IRIS) atau Sistem Informasi Ketahanan Industri yang digunakan untuk menganalisa dampak lonjakan impor yang berdampak pada perkembangan industri dalam negeri.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015