"Terkait panggilan BG (Budi Gunawan), sekitar pukul 10.30 WIB, ada seorang anggota divisi hukum Mabes Polri ke sini, pangkatnya Kombes (Komisaris Besar), tapi saya lupa namanya. Dia mengatakan BG tidak bisa hadir dengan alasan kasusnya masuk ke proses praperadilan," kata Kepala Bagian Informasi dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Gedung KPK Jakarta, Jumat.
Atas pemberitahuan tersebut, penyidik sedang mempertimbangkan cara dan alasan dari pihak Budi Gunawan.
"Penyidik sedang mempertimbangkan dua hal yaitu pertama, cara konfirmasi, apakah dinilai patut karena disampaikan secara lisan dan tidak ada suratnya dan terkait materi, apakah dapat dinilai patut atau tidak ketidakhadirannya karena alasan ada di tahap praperadilan," tambah Priharsa.
Pada Senin (19/1), Mabes Polri melayangkan praperadilan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka di KPK, sidang praperadilan akan dilangsungkan pada 2 Februari 2015.
"Penyidik menyampaikan, tidak ada dasar hukum bahwa seorang saksi tidak hadir lantaran prosesnya sedang masuk tahap praperadilan," ungkap Priharsa.
Atas ketidakhadiran Budi Gunawan dalam panggilan pertama itu, maka terhadap Budi dapat dilakukan upaya paksa.
"Sesuai KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), jemput paksa akan dilakukan jika dua kali panggilan, dan dua-duanya tidak patut, maka ada kemungkian dijemput paksa. Itu kewenangan penyidik," jelas Priharsa.
Hingga Kamis (29/1), sudah ada 13 orang saksi yang dipanggil KPK, namun hanya satu orang yang memenuhi panggilan yaitu Widyaiswara Utama Sekolah Pimpinan Lemdikpol Polri Irjen (Purn) Syahtria Sitepu yang datang pada 19 dan 29 Februari 2015.
Budi Gunawan diduga terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan sejak menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.
KPK menyangkakan Komjen Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.
Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015