Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menhankam/Pangab RI Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat, meninggal dunia sekitar pukul 13.00 WIB saat dirawat di Paviliun Kartika RSPAD, Jakarta, Jumat. Staf protokol Wakil Presiden kepada ANTARA News, Jumat, di sela-sela acara peringatan hari AIDS sedunia, kantor Wapres di Jakarta, menjelaskan, pihaknya menerima laporan meninggalnya tokoh nasional tersebut. Wakil Presiden, Jusuf Kalla rencananya juga akan membezuk jenazah di RSPAD Gatot Soebroto seusai acara peringatan hari Aids Sedunia itu. Edi Sudradjat dilahirkan di Jambi tanggal 22 April 1938 dan beragama Islam. Almarhum memiliki seorang istri, Lulu Lugiyati dan dikaruniai tiga orang anak. Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat sosok prajurit yang pernah "sangat berpengaruh" di Indonesia dengan tiga jabatan rangkap, Kepala Staf TNI-AD, Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan Keamanan RI. Edi adalah salah satu pelaku dalam menerima tongkat estafet kepemimpinan dari prajurit generasi 45 kepada prajurit pasca perang kemerdekaan. Ia lulus Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1960 angkatan pertama dan untuk pertama kalinya akademi militer bentukan RI setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 disatukan. Sebelum itu, RI pernah memiliki akademi militer terpisah-pisah. Saat perang kemerdekaan berkecamuk, Pemerintah RI mendirikan akademi militer di Yogyakarta (Militaire Academie) juga ada di Tangerang. Setelah itu Akademi juga didirikan di Bandung untuk Zeni (dikenal dengan Akademi Teknik Angkatan Darat Atekad) tahun 1950-an. Saat menjadi taruna, Edi sudah menyandang jabatan paling tinggi di antara para taruna, yaitu Komandan Resimen Korps Taruna (Dan Mentar). Artinya ia adalah pemimpin seluruh taruna, dan itu hanya diperoleh melalui kepemimpinan yang dinilai paling menonjol dari sekian banyak taruna. Selepas dari Magelang, Edi ditugaskan sebagai Komandan Peleton di Batalyon Infanteri 515/Tanggul, Jember, selama dua tahun (1961-1962). Dalam kurun waktu inilah Edi, menyambung nyawa demi republik di hutan-hutan perawan Irian dalam Operasi Trikora guna mengusir Belanda. Usai mengikuti pendidikan komando, bersama adik-adik kelasnya yang lulus tahun 1961-1962, Edi kemudian memperkuat pasukan baret merah. Kiprahnya di baret merah banyak dihabiskan di medan operasi, dari tahun 1963 hingga 1969 ia keluar masuk hutan mengejar pemberontak RMS di Maluku, kembali ke hutan Irian memberantas OPM, memberangus pemberontak G-30S/PKI dan masuk hutan di Kalbar menggebuk PGRS/Paraku. Edi juga pernah ditugasi sebagai anggota pasukan penjaga perdamaian PBB (Kontingen Garuda IV, 1993). Dengan pengalaman operasi yang lebih dari cukup dan pendidikan lengkap, Edi melaju mulus dalam karirnya. Usia 42 tahun (1980) Edi sudah meraih pangkat Jenderal bintang satu (Brigadir Jenderal). Ia menjadi Brigjen dengan jabatan Panglima Komando Tempur Lintas Udara (Pangkopus Linud) Kostrad yang ia jabat hanya setahun. Tahun 1981-1983, ia dipercaya menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan di Medan dengan pangkat Mayor Jenderal yang kemudian berlanjut menjadi Pangdam III/Siliwangi di Bandung (1983-1985). Usai menjadi Panglima Kodam, Edi ditarik ke Markas Besar ABRI sebagai Asiten Operasi Kasum ABRI (1985-1986) dan tahun berikutnya, Edi sudah menyandang jenderal bintang tiga (Letnan Jenderal) untuk jabatan Wakil Kepala Staf TNI-AD (1986-1988). Usia emas (50 tahun), Edi telah mencapai pangkat tertinggi dalam jajaran TNI-AD, ia telah menjadi Jenderal penuh berbintang empat dengan jabatan Kepala Staf TNI-AD. Setelah Jenderal Try Sutrisno lengser dari jabatan Pangab, sebelum sidang Umum MPR 1993 berlangsung, ia dipercaya menjadi Panglima ABRI. Tahun 1993 dalam Kabinet Pembangunan VII Edi diangkat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan, sementara itu jabatan Kasad dan Pangab juga masih disandangnya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006