Seharusnya ada tiga orang saksi yang dipanggil pada hari ini yaitu mantan Wakil Inspektorat Pengawasan Umum (Wairwasum) Mabes Polri Inspektur Jenderal Pol Andayono yang sekarang menjabat sebagai Kapolda Kalimantan Timur, mantan Kepala Biro Perencanaan dan Administrasi Inspektorat Pengawasan Umum (Karorenmin Itwasum) Polri Brigadir Jenderal (Purn) Heru Purwanto dan Aiptu Revindo Taufik Gunawan Siahaan, dua di antaranya tidak memberikan keterangan kepada KPK.
"Irjen Pol Andayono berdasarkan informasi dari penyidik yang bersangkutan tidak datang tanpa memberikan keterangan sedangkan Aiptu Revindo Taufik Gunawan Siahaan juga tidak hadir tanpa keterangan," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Selasa.
Sedangkan satu orang saksi tidak hadir karena sakit.
"Brigjen Pol Heru Purwanto tidak hadir karena sakit, pengacara mengantarkan surat hari ini ke KPK," tambah Priharsa.
Irjen Pol Andayono sebelumnya pernah dipanggil pada 20 Januari lalu tapi ia beralasan tidak bisa hadir karena harus kembali ke Balikpapan karena ada peristiwa kapal tenggelam sedangkan Brigjen Purn Heru Purwanto juga pernah dipanggil pada hari yang sama tapi tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan.
Artinya baik Andayono maupun Heru Purwanto dalam dua kali pemanggilan pemeriksaan tidak memenuhi panggilan, dengan sekali tanpa keterangan dan sekali dengan keterangan, padahal KPK sedang mempercepat penyidikan kasus ini.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata pasal 112, disebutkan "Orang yang dipanggil kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawanya" atau disebut sebagai upaya paksa.
"Kalau berdasarkan KUHAP, jika seseorang dipanggil berdasarkan penyidikan kemudian dia dua kali tidak hadir tanpa alasan yang patut, maka penyidik dapat memanggil paksa," tambah Priharsa.
Artinya penyidik KPK dapat melakukan upaya paksa terhadap para petinggil Polri tersebut.
"KUHAP mengatakan dapat (dipanggil paksa) jadi itu kewenangannya penyidik. Jadi kalau misalnya satu kali tidak hadir tanpa keterangan yang layak itu ada panggilan kedua, itu nanti di surat panggilannya ada tulisannya surat pangilan kedua," ungkap Priharsa.
Ia juga menghimbau agar saksi yang merupakan penegak hukum mau mengikuti panggilan pemeriksaan KPK.
"Himbauannya begini, kan misalnya ada saksi yang dipanggil kemudian berhalangan karena kegiatan mungkin bisa diatur jadwalnya dia bisa kapan, nanti kita akan menyesuaikan panggilan berdasarkan itu misalnya hari ini dia tidak bisa kemudian dikonfirmasi bisanya dua hari atau tiga hari lagi," jelas Priharsa.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga pernah mengatakan bila para saksi dalam kasus Budi Gunawan tidak memenuhi panggilan kedua, maka panggilan pemeriksaan ketiga akan ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinato Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno.
"Belum (ada surat panggilan yang ditembuskan ke Presiden Jokowi)," jawab Priharsa saat ditanya mengenai surat panggilan yang ditembuskan tersebut.
Dalam perkara ini, KPK sudah mencegah empat orang pergi keluar negeri, mereka adalah Budi Gunawan; anaknya, Muhammad Herviano Widyatama; asisten Budi yaitu anggota Polri Iie Tiara serta Irjen Purn Syahtria Sitepu sejak 14 Januari 2015. Syahtria diduga pernah 13 kali mentransfer total senilai Rp1,5 miliar ketika menjabat Direktur Lalu Lintas Polda Sumatera Utara pada Agustus 2004-Maret 2006.
Hervianto, pada 2005 saat berusia 19 tahun mendapat pinjaman dari PT Pasific Blue senilai 5,9 miliar dolar AS dan diberikan dalam bentuk tunai sejumlah Rp57 miliar, dari jumlah tersebut disetor ke rekening Budi Gunawan senilai Rp32 miliar, namun proses pinjam-meminjam ini sudah diperiksa di Bareksrim Polri pada 2010 dan dinyatakan wajar oleh Bareskrim.
Budi Gunawan diduga terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan sejak menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.
KPK menyangkakan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.
Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015