Gagasan itu disampaikan Direktur Archipelago Solidarity Foundation Dipl-Oek Engelina Pattiasina dalam sarasehan dengan tema "Memaknai Warisan Nilai Juang Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800- 4 Januari 2015) di Jakarta, Selasa.
Sejumlah tokoh menghadiri pertemuan ini, termasuk dari Universitas Pattimura dan sejarawan Dr Semmy Touwe serta tokoh masyarakat Maluku Raja Abubu Nusa Laut.
Dari unsur pemerintah hadir Deputi Bidang Sosial dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Heru Karsidi dan Dr Wilian Sabandar dari REDD+.
Engelina mengemukakan, dari sedikit rekaman kisah Martha Christina, ada banyak keteladanan, nilai dan aspirasi yang diperlukan saat ini.
Martha Christina Tiahahu lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 dan meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 18 tahun.
Dia adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusa Laut. Ia mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun.
Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.
Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw - Ullath jasirah Tenggara Pulau Saparua, Belanda menangkap para tokoh pejuang.
Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak.
Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818.
Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015