Menurut Direktur LBH Jakarta, Febi Yonesta, dalam siaran pers yang diterima ANTARA News di Jakarta, Selasa, pemerintahan baru seharusnya bisa memanfaatkan waktu 100 hari pertama untuk menjadi momen pembuktian komitmen politik hukum.
"Namun, Presiden Joko Widodo melewatkannya begitu saja melalui politik balas budi dalam pemilihan pejabat publik di bidang hukum dan memperlihatkan ketidakberpihakan terhadap upaya pemberantasan korupsi," katanya.
Febi menuturkan LBH Jakarta menggunakan parameter tujuh inti janji kampanye pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang hukum, yakni politik legislasi yang jelas, pencegahan dan pemberantasan korupsi sera mafia peradilan, penegakan hukum lingkungan, pemberantasan narkotika, reforma agraria, perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu serta pemilihan pejabat publik dalam bidang hukum yang bersih.
"Tidak ada capaian yang menonjol atas janji-janji kampanye tersebut," kata Febi.
Hal senada juga disampaikan Kepala Bidang PSDHM LBH Jakarta Alghiffari Aqsa. Ia menyayangkan penunjukan pejabat publik di bidang hukum yang kontroversial, termasuk Jaksa Agung serta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang berasal dari partai, dan pencalonan tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dengan rekam jejak yang buram.
Meski demikian LBH Jakarta tidak mengesampingkan langkah awal positif yang sempat ditunjukkan pemerintahan Presiden Joko Widodo, termasuk keputusan meminta masukan dari KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) saat memilih anggota kabinet.
"Namun pada saat penunjukkan Jaksa Agung dan Kapolri malah KPK dan PPATK tidak dilibatkan.
LBH Jakarta menegaskan bahwa demi mewujudkan janji kampanyenya di bidang hukum yang menggunung, Presiden Joko Widodo tidak boleh membiarkan diri didikte oleh siapapun, termasuk partai pendukungnya sendiri.
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015