"Permasalahan calon Kapolri ini jadi ruwet sebenarnya berpangkal pada dua hal, yakni sikap Presiden dan sikap DPR. Mestinya, tidak sampai jadi sampai seperti ini," katanya di Semarang, Senin.
Menurut dia, Presiden mestinya bisa menarik calon tunggal Kapolri, yakni Komjen Pol Budi Gunawan yang diajukannya ke DPR, setelah ada penetapan tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di sisi lain, kata dia, DPR sebenarnya juga bisa menolak calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden itu, mengingat Komjen Budi Gunawan sudah ditetapkan tersangka oleh KPK, bukannya malah menerima.
"Setelah situasinya sudah seperti ini, DPR sudah menyetujui Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, kembali pada hak prerogatif Presiden. Apakah melantik, atau menunda pelantikannya," tukasnya.
Keputusan yang diambil Presiden Jokowi, kata dia, akhirnya menunda melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri dan menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri.
Ia mengatakan keputusan Presiden untuk menunda melantik Kapolri dan memilih menunjuk Plt Kapolri juga merupakan hak prerogatifnya meski Komjen Budi Gunawan sudah disetujui DPR dilantik sebagai Kapolri.
"Ya, merupakan hak prerogatif Presiden untuk menunda melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, menunggu sampai ada kejelasan kasus yang menjerat yang bersangkutan yang ditangani KPK," tukasnya.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Polri, kata pengajar Fakultas Hukum Unissula itu, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dengan persetujuan DPR.
Permasalahannya, kata dia, masa jabatan Plt Kapolri, sebagaimana pejabat sangat terbatas sehingga harus terus diperpanjang masa jabatannya dan kewenangannya juga sangat terbatas.
"Pengangkatan Plt itu kan jika pejabat yang diangkat belum ada, atau pejabat definitif berhalangan tetap. Tentu saja, masa jabatan dan kewenangan Plt tak seperti pejabat definitif," pungkas Rahmat.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015