pengajuan Peninjauan Kembali (PK) harus dilandasi persyaratan ketat


Yogyakarta (ANTARA News) - Upaya pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dalam suatu kasus perkara pidana perlu dilandasi dengan aturan yang ketat sehingga tidak mudah disalahgunakan oleh para mafia peradilan, kata seorang praktisi hukum Yogyakarta, Nur Ismanto.

"Memperhatikan realita yang terjadi seperti rekayasa kasus, serta adanya mafia peradilan, pengajuan Peninjauan Kembali (PK) harus dilandasi persyaratan ketat," kata Nur Ismanto dalam diskusi publik mengenai "Kontroversi Upaya Hukum Peninjauan Kembali" di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu.

Menurut Nur, pemberian wewenang PK bagi terpidana seperti diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan sebuah toleransi hukum yang masuk kategori "luar biasa", sebab sebelumnya telah didahului oleh proses yang berlapis atau melalui lima tingkatan pemeriksaan mulai penyidik, penuntut umum, hakim tingkat pertama, tingkat banding, hingga kasasi.

Menurut dia jika profesionalitas jaksa, hakim, serta advokat dalam memproses kasus pidana telah terpenuhi, maka pada tingkat keputusan Mahkamah Agung (MA) yang berstatus berkekuatan hukum tetap harus dihormati.

"Sehingga jika tidak ada kesalahan yang fatal dalam setiap proses hukum itu, tidak mungkin ada PK sebagai upaya hukum luar biasa," kata dia.

Sementara itu, ia berpendapat, mekanisme peninjauan kembali yang diperbolehkan diajukan lebih dari satu kali sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 34/PU-XI/2013 perlu dikaji kembali secara cermat.

Alasannya dikhawatirkan justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat dipermainkan oleh mafia peradilan.
(Simak di sini, komentar Menkopolhukam terkait PK kasus pidana)

Meskipun memiliki semangat mengedepankan nilai keadilan, ia menilai, PK lebih dari satu kali atau tanpa batas lebih cenderung mengesampingkan tujuan hukum yang ada. Sehingga ketertiban serta rasa aman masyarakat dimungkinkan menjadi susah untuk diwujudkan.
(Baca di sini, pendapat Mahfud MD terkait PK berkali-kali)

"PK lebih dari sekali atau berkali-kali akan menjadi bencana dalam penegakan hukum pidana," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Asisten Intelijen Kejaksan Tinggi DIY, Djoko Purwanto mengatakan putusan MK tersebut bersifat kondisional sehingga tidak serta merta menyimpulkan bahwa PK dapat diajukan beberapa kali.

PK lebih dari satu kali, kata dia, hanya dapat dilakukan jika ditemukan novum (bukti baru) berdasarkan pemanfaatan IPTEK dan Teknologi.

"Dengan demikian pengajuan PK ini tidak akan mengganggu keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan," kata Djoko.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015