Jakarta (ANTARA News) - Kepala Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok B Wijayanta dengan semangat menunjukkan sejumlah pigura yang terpajang di depan ruang konferensi pers gedung kantornya.

Di dalam pigura itu terpampang nota-nota kesepakatan pucuk pemimpin Bea Cukai dengan berbagai asosiasi dan pihak yang terlibat dalam aktivitas pelabuhan sehari-hari.

Di antaranya ada nota kesepakatan Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Tanjung Priok dengan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) dan sejumlah pengelola tempat penimbunan sementara (TPS) di di Tanjung Priok.

Ada pula nota kesepakatan dengan operator pelabuhan seperti PT Pelindo II maupun anak perusahaannya, PT Jakarta International Container Terminal (JICT).

Saat wawancara dengan Antara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 8 Januari lalu, Wijayanta menyatakan lembaganya berkomitmen membebaskan lembaganya dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

"Kita commit untuk bebas KKN, ini ikatan moral, bukan hanya kepala kantor tapi juga kepala seksi, pengelola gudang, GINSI, ALFI. Kita serius. Memang ada yang bilang, 'Pak ini kan gampang banget tanda tangan', tapi kan ini batu pijakan, enggak main-main loh ya," katanya.

Wijayanta meyakinkan nota kesepahaman itu juga dipajang di kantor mitra-mitra kerjanya dan menegaskan bahwa tidak ada ongkos yang dibebankan oleh anak buahnya untuk memroses barang yang masuk ke Tanjung Priok.

"Harus hati-hati, gerakan barang itu bukan tanggung jawab kami. Kan bongkar muat itu. Kami cuma coba periksa di sini, tapi menggerakkan di lapangan timbun ke satu titik ke titik lain itu adalah pihak-pihak lain yang saling kait-mengait. Kalau mau konfirmasi ya ke pihak-pihak lain," katanya.


Kenyataan di lapangan

Di lapangan, untuk perpindahan barang misalnya, dalam proses pemeriksaan barang saat kontainer masuk ke jalur merah, ada sejumlah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan pengurus dokumen kepabeanan dalam kegiatan ekspor impor yang disebut Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).

"Yah semua di sini ada biayanya, kalau tidak ya barang tidak gerak," kata seorang staf PPJK.

Saat datang ke TPS 215 di kompleks Pelabuhan Tanjung Priok pada awal Desember 2014, dia sudah menyiapkan uang sekitar Rp1 juta untuk proses pemeriksaan barang dalam kontainer yang dia kawal karena masuk jalur merah.

Kontainer yang dia urus diletakkan di tumpukan paling tinggi sehingga ia harus mencari petugas untuk mengoperasikan mesin angkut yang bisa mengambil kontainer dari tempat tinggi dan memindahkannya ke tempat pemeriksaan di TPS tersebut.

Pemeriksaan barang dalam peti kemas itu kemudian dilakukan di pojok gudang, dan tidak ada lagi kontainer yang menunggu untuk diperiksa di sana.

Sang pemeriksa barang datang dan mulai melakukan tugasnya. Ia memotret pintu kontainer sebelum kunci dibongkar, lalu mengeluarkan contoh barang, memeriksa unsur pembentuk barang, mengukur dimensi barang, dan memotretnya.

Meski dalam surat perintah dan surat tugas ia diwajibkan untuk melakukan 100 persen pemeriksaan, sang petugas cukup mengeluarkan empat kardus contoh barang dan menelitinya. Ia menyelesaikan tugas pemeriksaan fisik dalam waktu sekitar 30 menit saja.

"Idealnya memang semua diperiksa, tapi kan ini sudah lihat barangnya seperti apa saja," ungkap si petugas.

Ia kemudian memberikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada staf PPJK. Saat sang staf mengejarnya untuk memberikan uang terima kasih, sang petugas menolaknya dan berujar singkat "Sudah buat kamu saja."

Staf PPJK pun tersenyum girang.

"Wah jarang-jarang dapat petugas seperti itu, mungkin cuma 10 persennya saja lah. Biasanya BAP tidak mau langsung dikasih tapi disuruh ambil di kantornya dan harus diselipkan amplop dulu," katanya.

"Yang kali ini juga walaupun tulisannya 100 persen pemeriksaan, tapi enggak ngosongin semua karena seharusnya kalau 100 persen (kontainer) harus dikosongin," tambah dia.

Staf PPJK itu cukup senang karena hari itu pekerjaannya selesai lebih cepat. Hari sebelumnya ia harus menunggui empat peti kemas yang harus menjalani proses pemeriksaan fisik dan untuk masing-masing peti kemas itu dia harus mengeluarkan uang Rp100 ribu untuk petugas pemeriksa.

Meski tidak mengeluarkan tambahan uang kepada petugas, kali ini ia masih harus menyerahkan lembaran Rp20 ribu kepada petugas lapangan, mulai dari orang yang dipanggil untuk memanggil petugas yang mengoperasikan truck loader, satpam hingga petugas penjaga penukaran kartu identitas masuk.

Selain itu dia mengeluarkan uang sekitar Rp200 ribu untuk membayar buruh.


Menekan pemberian tip

"Pemberian tip dan gratifikasi kan karena ada keinginan dan kesempatan, dan strategi kami agar ditekan sebanyak mungkin ada MoU, pakta integritas bersama, bagaimana melakukan sosialisasi pengguna jasa, penggunaan IT (Information Technology) supaya layanan kami transparan dan bisa mengawasi dan pembinaan mental, punishment yang tegas, yang tidak kalah penting adalah keteladanan pimpinan," kata Wijayanta.

Wijayanta mengaku sudah membentuk satuan tugas yang juga meliputi pengurus asosiasi untuk menegakkan disiplin anggota dari kedua belah pihak.

Ia bahkan menyurati direktur perusahaan untuk tidak memberikan apa pun kepada petugas Bea Cukai Tanjung Priok.

"Bahkan kami sampai melakukan operasi buka amplop mendadak, banyak yang sudah kami lakukan untuk memberikan penguatan kepada internal kami, bahwa integritas adalah masalah serius, tidak bisa baik kalau mindset masih terima sesuatu," tambah dia.

Ia pun mengungkapkan bahwa kantornya sudah menjadi institusi model bebas praktek kolusi, korupsi, nepotisme sejak tujuh tahun lalu untuk menghilangkan praktik pemberian uang.

Sistem lain yang dibangun adalah whistleblowing system, penempatan CCTV dan kamera tersembunyi di beberapa area pelabuhan untuk memonitor pergerakan sekitar 1.100 pegawainya di Tanjung Priok.

"Kami tidak bisa menggaransi 100 persen (tidak ada penerimaan uang) tapi kami tekan semaksimal mungkin. Ada juga pertemuan rutin asosiasi untuk menyerap masih ada (pemberian uang) atau tidak," kata Wijayanta.

Kami juga sudah mengeluarkan surat edaran supaya tidak menerima makan siang, bahkan yang kecil-kecil kami perhatikan," ungkapnya.

Kepala Bidang Kepatuhan Internal Kantor Pelayanan Utama Tipe A Bea Cukai Tanjung Priok Dwi Teguh Wibowo juga mengharapkan partisipasi aktif pengguna jasa untuk menjaga anak buahnya agar tidak mendapat kesempatan menerima uang.

"Saya enggak mungkin menempel dengan semua pemeriksa fisik. Anda bantu saya, jangan berikan apa pun ke pemeriksa kami, dan kami tekankan juga kepada pemeriksanya untuk tidak meminta apa pun," katanya.

"Memang yang sulit itu kalau ada pelaksana (staf PPJK) yang tidak masuk dalam asosiasi, jadi dia freelance, ini memang harus kita tertibkan," ungkap Teguh.

Tapi bila ada staf PPJK anggota GINSI dan ALFI yang terbukti memberikan uang kepada pemeriksa barang atau petugas bea cukai, Teguh menyatakan, kantornya tidak segan-segan mengirim surat untuk memanggil direktur atau atasan staf PPJK tersebut.

"Kami di sini tidak main-main," ungkap Teguh.

Pada 20 Juni 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menangkap seorang Kepala Sub Kargo Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta karena meminta uang Rp150 juta kepada importir asal Amerika Serikat untuk mengeluarkan barang dari gudang.

Kasus tersebut kemudian dilimpahkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya karena termasuk tindak pidana umum.

Kasus paling dekat dengan kantor Bea Cukai Tanjung Priok adalah penangkapan mantan Kepala Sub Direktorat Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Tanjung Priok Heru Sulastyono pada 29 Oktober 2013 karena menerima gratifikasi Rp11,4 miliar dalam bentuk asuransi dari Yusran, komisaris PT Tanjung Jati Utama.

KPK pun pernah membuat kajian mengenai Pengawasan dan Pelayanan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 2010 dan menemukan 10 titik kelemahan di bidang regulasi, kelembagaan, tata laksana dan manajemen sumber daya manusia.

Salah satu rekomendasinya adalah pembentukan badan otoritas khusus pelabuhan yang membawahi Bea Cukai, Imigrasi maupun operator pelabuhan dan pihak-pihak lain yang terlibat di pelabuhan karena terlalu banyaknya jalur masuk di pelabuhan.

"Kalau importir tidak mendapat rekomendasi dari Kementerian Perdagangan, mereka ke Kementerian Perindustrian, kalau mentok lagi minta ke Kementerian Perhubungan, dan seterusnya. Bea Cukai misalnya tidak mengurusi ketahanan negara dan hanya berwenang pada pemasukan kas negara, jadi Bea Cukai berada di tengah dan bukan pada posisi penentu di sana," kata peneliti KPK.

"Sulit untuk menghitung kerugian negara dalam praktek ini, paling mungkin hanya kerugian administratif, tapi apakah perhitungan itu meliputi seluruh unsur kerugian negara? Belum tentu," tambah peneliti KPK tersebut.

Ketaatan aturan di Pelabuhan Tanjung Priok tentu tidak bisa dianggap remeh karena pelabuhan itu disebut-sebut melayani dua pertiga jalur ekspor impor Indonesia.

Pelabuhan itu setiap hari melayani 4.323 kontainer dengan berbagai ukuran atau 130.389 kontainer per bulan pada 2014.

Jumlah tersebut memang lebih sedikit dibanding jumlah pada 2012, yang mencapai 4.523 per hari, atau 136.814 kontainer per bulan. Namun masih lebih besar dibanding tahun 2013 yang sebanyak 120.531 peti kemas.

Dari jumlah kontainer-kontainer yang masuk tersebut, penerimaan negara yang masuk tidak tanggung-tanggung dan terus meningkat dalam setiap periode.

Penerimaan negara yang berasal dari gabungan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak pertambahan nilai barang mewah dan pajak penghasilan rata-rata per bulan pada 2012 mencapai Rp16,84 miliar, sedikit menurun pada 2013 menjadi Rp16,6 miliar per bulan namun melonjak hingga Rp22,14 miliar per bulan pada 2014.


Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015