Jakarta (ANTARA News) - Terbentang sepanjang 216 meter, Rumah Betang berdiri kokoh di Dusun Sui Utik, Desa Batu Lintang, Kalimantan Barat.
Rumah Betang Sui Utik merupakan salah satu rumah khas Dayak yang tertua di Kalimantan Barat.
Di tempat tinggal suku dayak Iban itu, 299 warga Sui Utik tinggal satu atap dalam kebersamaan di tengah hutan hujan tropis seluas 9.452,5 hektare.
Hampir semua warga yang tinggal di Rumah Betang itu memiliki ikatan persaudaraan.
Kepala Desa Batu Lintang, Raymundus Remang, menjelaskan rumah itu dibangun secara gotong royong dan ditempati dengan menjunjung kebersamaan.
"Rumah Betang merupakan simbol persatuan suku Dayak. Kalau sudah tidak ada Rumah Betang, berarti persatuan dan kebersamaannya sudah kendur. Mungkin hanya ada beberapa Rumah Betang yang bertahan sampai sekarang, banyak yang sudah musnah karena terjadi perpecahan," jelas Remang.
"Persatuan itu yang masih mengikat kami semua di sini," tambahnya.
Ia juga menyebut Rumah Betang sebagai simbol budaya. Rumah Betang dibangun dari kayu yang diambil dari hutan adat.
"Kami tidak mau kearifan lokal diubah. Rumah Betang Sui Utik masih mempertahankan kayu sejak awal dibangun, tidak diganti dengan beton," tutur Remang.
Rumah Betang di Sui Utik memiliki 28 pintu bagian rumah. Rumah panggung tersebut memiliki lebar 12 meter dari ruai sampai bilik.
Ruai merupakan ruang berkumpul warga sementara bilik adalah tempat masing-masing keluarga tinggal.
Dari tanjok (teras) sampai bilik, warga dilarang mengganti atap asli atau dengan seng alumunium. Sementara dari bilik hingga belakang rumah, warga diberi kebebasan untuk menambah ruang seperti kamar, dapur, kamar mandi.
"Di Rumah Betang, bilik rumah juga tidak boleh disekat," jelas Remang.
Kisah di balik tinggi rumah
Rumah panggung yang rendah menjadi ciri khas dari Rumah Betang Sui Utik. Tingginya yang hanya tiga meter dari tanah ternyata memiliki kisah tersendiri.
Remang mengatakan pada zaman perang, ketika sering terjadi perang di antara suku Dayak, suku Dayak Iban memilih tidak ikut perang.
Konon, Rumah Betang pada masa itu dibangun setinggi-tingginya untuk menghindari serangan dari musuh dan mencegah musuh naik ke dalam rumah.
Pada masa itu, suku Dayak berperang menggunakan sumpit (kayu panjang yang ujungnya runcing) yang diberi racun.
Sumpit tersebut biasanya ditancapkan ke musuh dari bawah rumahnya, melalui sela-sela lantai kayu. Dari dalam rumah, serangan balik sumpit pun dihujamkan ke musuh yang menyerang.
Sumpit beracun itu menjadi begitu menakutkan karena sekali kena, nyawa sudah tidak dapat tertolong.
"Sejarahnya di sini kami tidak takut siapa-siapa karena tidak bermusuhan dengan siapa-siapa. Jadi tidak perlu tinggi rumahnya," kata Remang.
Sejak tahun 1913, suku Dayak Iban menduduki wilayah Sui Utik, yang sebelumnya ditinggali oleh suku Dayak Embaloh. Karena terjadi perang saudara di antara Embaloh, Iban yang saat itu menjadi suku yang dihormati dan netral diminta menjadi perantara damai dan menempati Sui Utik.
Tahun 1973, warga Sui Utik membangun Rumah Betang yang berjarak beberapa kilometer dari tempat sebelumnya.
Rumah Betang dibuat dari hilir ke hulu dimana bagian hilir searah dengan matahari terbenam dan bagian hulu searah dengan bagian matahari terbit.
Pembangunan Rumah Betang dimulai dengan menancapkan tiang bumbung yang menjadi pondasi rumah. Tiang dari kayu ulin itu tertancap dari tanah hingga atap rumah tanpa disambung.
Setelah itu, selama lima tahun warga menyiapkan kayu untuk atap, lantai berupa kayu tekam, dan tiang.Tuai Rumah Betang Sui Utik, Bandi atau biasa dipanggil Apay Janggut merupakan keturunan pendiri Rumah Betang di Sui Utik.
Pria berusia 86 tahun itu mengatakan adat di Sui Utik memberlakukan setiap bagian rumah paling banyak memakai 30 kayu untuk menjaga agar kayu-kayu di hutan adat mereka tidak habis.
Ritual adat, kata Apay Janggut, juga tidak lepas dari pembangunan Rumah Betang.
Setelah menancap tiang, mereka melakukan berbagai ritual termasuk memberi persembahan kepada leluhur dengan memotong ayam dan babi.
Seiring dengan bertambahnya jumlah warga, Rumah Betang Sui Utik mengalami renovasi pertama dengan menambah satu bagian rumah pada tahun 2010-2011. Sebelumnya, Rumah Betang Sui Utik hanya memiliki 27 pintu rumah.
Penambahan bagian rumah, kata Apay Janggut, harus ke arah hulu. Dalam aturan adat, menyambung rumah tidak boleh ke hilir karena artinya mundur ke belakang.
Mengikuti arah hilir juga dilarang atau disebut pamali karena dinilai mengikuti arus air yang bisa membawa hanyut. Sehingga mereka harus melawan harus.
Selain itu, harus dilakukan ritual khusus mulai saat menyiapkan bahan kayu untuk membangun rumah sampai saat pembangunan sudah selesai.
Puncak ritualnya digelar piring sembilang yang dilakukan oleh para tetua adat.
Rumah Betang merupakan warisan turun temurun keluarga. Hampir di setiap bilik rumah terdapat berbagai model tempayan atau guci yang terbuat dari tanah liat yang disebut tanjau. Tempayan-temayan tersebut merupakan warisan dari leluhur masing-masing dan merupakan simbol persaudaraan.
Kebersamaan di Rumah Betang
Berada sejenak di Rumah Betang Sui Utik memiliki makna tersendiri, bisa menyaksikan bagaimana 299 warga hidup harmonis dalam satu atap dan sampai kini tetap memegang teguh adat.
Di Rumah Betang, gotong royong seolah sudah tertanam sejak tiang bangunan tersebut ditancapkan. Semua orang, mulai dari anak-anak sampai orang tua, saling membantu dalam setiap kesempatan.
Seperti pada acara lepas pantang beberapa waktu lalu, ketika warga berbondong-bondong menyiapkan acara untuk melepas masa berkabung setelah salah satu warga meninggal dunia.
Sebelum acara lepas pantang, anak-anak kecil hingga remaja pergi ke hutan untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak.
Sementara bapak-bapak atau apay menyiapkan keperluan ritual lepas pantang serta memasak babi. Esok paginya, ibu-ibu atau inay memasak bersama-sama.
Tidak hanya untuk acara tertentu, setiap 20 hari sekali semua warga Sui Utik membersihkan sumber mata air mereka, Sungai Nansang.
Warga dalam satu dusun tersebut dibagi menjadi enam kelompok. Setiap kelompok yang mendapat jatah membersihkan sungai atau pipa, harus menyusuri hutan hingga enam kilometer atau hampir dua jam dengan berjalan kaki.
"Kalau tidak ada Rumah Betang, ibaratnya kami tidak ada. Hilang budaya kami," kata Apay Janggut.
"Kalau tinggal masing-masing rumah itu halangannya banyak, tidak seperti kalau tinggal di Rumah Betang. Adat tidak lepas dari sejarah dan keturunannya. Selain itu kalau mau diskusi juga mudah," tuturnya.
Tinggal dalam bilik terpisah tak menyekat kebersamaan mereka. Penghuni Rumah Betang itu selalu terlihat berkumpul di ruai atau di tanjok, sepulang dari ladang atau saat malam hari.
Inay-inay biasanya mengobrol sambil menganyam, menenun, menyiangi sayur atay melakukan aktivitas lain sepulang dari ladang.
Di bagian tengah Ruai, anak-anak berkumpul membaca buku sumbangan dari sebuah lembaga masyarakat. Semangat mereka membaca bahkan tidak redup saat malam tiba. Mereka melanjutkan membaca menggunakan pelita atau lampu surya.
Di dusun yang hanya berjarak 102 kilometer dari perbatasan Indonesia-Malaysia itu, warga Sui Utik memang belum seberuntung dusun lainnya. Mereka masih harus hidup dalam keremangan tanpa jaringan listrik.
Mereka sedang berjuang bersama agar dusun yang mereka cintai bisa terang benderang saat malam datang.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015