SKL itu bisa berbagai pola masalahnya,"
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi sedang memetakan modus dugaan tindak pidana korupsi terkait penyelidikan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"SKL itu bisa berbagai pola masalahnya," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di gedung KPK Jakarta, Kamis.
KPK saat ini memang masih dalam tahap pengumpulan keterangan sejumlah pihak terkait pemberian SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati.
"Pola pertama adalah ada SKL yang memang diberikan sebagai syarat keterangan lunas betul-betul jaminannya sesuai dengan fakta, tapi bisa juga tidak sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi kompensasi jaminan itu," ungkap Bambang.
Artinya ada jaminan palsu yang diajukan obligor BLBI saat menerima SKL.
"Kedua, bisa juga bahwa ternyata walaupun (jaminan) itu belum cukup lengkap dan meski diketahui tidak cukup lengkap oleh pembuat SKL, tetap dipaksakan untuk disetujui," tambah Bambang.
Pola ketiga adalah bukan lagi penyelewengan dalam proses pembuatan SKL, tapi juga penyelewengan dalam pelaksanaan SKL.
"Bisa juga sebenarnya SKL-SKL itu awalnya benar akan diberikan tapi dalam pelaksanakannya tidak (diberikan) seperti itu, dan kita sedang mencari mana polanya," jelas Bambang.
Sehingga menurut Bambang, KPK membutuhkan waktu yang lama untuk mengusut kasus tersebut.
"Karena (SKL) ini periodenya sudah terlalu lama, maka harus hati-hati dan prudential sekali. Sama seperti kasus Century yang dipersoalkan adalah kenapa kebijakan diadili? Padahal kami ingin membuktikan bahwa kebijakan itu menjadi sarana dan prasarana kejahatan atau cover up jadi butuh kehati-hatian untuk mengumpulkan bukti-bukti," tegas Bambang.
Namun Bambang menolak pola mana yang dinilai KPK terjadi dalam kasus SKL BLBI tersebut.
Gelar perkara terakhir dalam penyelidikan SKL BLBI menurut Bambang dilakukan pada 3-4 pekan lalu.
"Pemeriksaan kepada pemberi-pemberi keterangan masih akan terus dilanjutkan karena setelah ekspose terakhir sekitar 3-4 minggu lalu dipandang perlu untuk menambah informasi lain dari para pemberi keterangan," ungkap Bambang.
Dalam penyelidikan BLBI, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat pada Kabinet Gotong ROyong 2001-2004 yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001-2004 Laksamana Sukardi, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan mantan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.
KPK juga sudah mencegah seorang dari swasta yaitu Lusiana Yanti Hanafiah terkait dengan dugaan pemberian sesuatu kepada pegawai negeri dan atau penyelengara negara terkait perizinan pemanfaatan lahan tanah sejak 4 Desember 2014.
Lusiana diduga mengelola tanah yang diberikan kepada penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKL.
Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Laksamana Sukardi.
Dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara karena tidak dikembalikan kepada negara, tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Sedangkan sisanya yaitu para obligor yang tidak mengembalikan dana mendapatkan mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung karena mendapatkan SKL berdasarkan Inpres No 8 tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan PKPS.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015