Jakarta (ANTARA News) - Impor baja selundupan, khususnya untuk baja yang sudah mampu diproduksi di Indonesia, mencapai sekitar satu miliar dolar AS, sehingga menyebabkan industri baja tidak berkembang dan negara dirugikan akibat penyelewengan pajak dan tarif bea masuk. Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Deperin, Anshari Bukhari, pada workshop pendalaman kebijakan industri, di Cisarua, Bogor, Minggu, mengatakan pihaknya menengarai adanya impor baja illegal sekitar satu miliar dolar AS per tahun akibat adanya selisih antara catatan BPS dengan catatan ekspor dari sejumlah negara produsen baja ke Indonesia. "Data yang kami peroleh dari berbagai negara, ekspor baja untuk HS 72 saja (baja lembaran panas/HRC dan turunannya) mencapai sekitar dua miliar dolar AS, tapi data impor kita hanya menyebut sekitar 900 juta dolar AS. Perbedaan itu yang kita tengarai terjadi impor illegal," ujarnya. Anshari mengatakan pihaknya memperkirakan impor baja selundupan itu tidak hanya masuk secara fisik melalui sejumlah pelabuhan, tapi juga melalui pemalsuan dokumen impor. "Mereka (penyelundup) memasukkan nilai baja yang lebih rendah dari seharusnya, sehingga hanya terkena bea masuk (BM) yang lebih kecil," ujarnya. Saat ini tarif bea masuk baja di Indonesia untuk HS 72 yang kebanyakan sudah diproduksi di Indonesia mencapai 7,5 sampai 12,5 persen. Sejauh ini sebenarnya pihaknya sudah melakukan kerjasama dengan pihak terkait, terutama Bea Cukai, untuk mencegah masukknya baja illegal yang merugikan negara dan industri baja yang sudah ada di dalam negeri. "Kita akan kerjasama dengan Bea Cukai lebih intensif, terutama untuk baja-baja yang sudah dikenakan SNI (Standar Nasional Indonesi) wajib lebih diawasi, selain itu akan dibuat semacam database harga, sehingga kalau ada yang memberi tahu harga baja impor dengan nilai yang lebih rendah akan dikenakan 'surcharge'," katanya. Anshari mengemukakan baru-baru ini diketahui ada importir yang melaporkan harga kawat baja hanya 200 dolar AS per ton, padahal harga di pasar internasional mencapai sekitar 1.000 dolar AS per ton. "Importir itu mencoba mendapatkan BM yang lebih rendah, sehingga bayar pajaknya pun lebih murah, bisa dibayangkan berapa keuntungannya dan kerugian negara," ujar Anshari. (*)

Copyright © ANTARA 2006