Jakarta (ANTARA News) - Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) mengimbau anggota MPR RI tidak melakukan atau tidak menerima gratifikasi.

Imbauan itu disampaikan dalam bentuk surat edaran kepada seluruh anggota MPR RI periode 2014-2019. Surat edaran tersebut terkait imbauan gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia. Surat edaran itu disampaikan Setjen MPR RI tertanggal 15 Desember 2014.

"Ya, kita buat surat surat itu karena pihak Setjen MPR RI menerima surat dari KPK tanggal 17 November 2014 perihal Himbauan Melakukan Penolakan dan Pelaporan Gratifikasi serta Pembangunan Sistem Pengendalian Gratifikasi dalam rangka pencegahan tindak pidana korupsi," kata Sekretaris Jenderal MPR RI, Eddi Siregar di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu.

Kata Eddi, pihaknya merespon cepat surat KPK tersebut guna menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang yang berujung terjadinya tindak pidana korupsi.

"Anggota MPR RI periode sekarang masih baru dan juga sebagian besar adalah anggota baru. Jadi kita ingatkan sedari awal dengan membuat surat edaran kepada masing-masing anggota MPR RI," kata Eddi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengirim surat kepada Setjen MPR RI tanggal 17 November 2014 dengan nomor surat B-6352/01-13/11/2014.

Dalam surat itu, KPK mengimbau agar anggota MPR RI menolak atau tidak menerima, tidak meminta dan tidak memberikan gratifikasi yang dianggap pemberian suap, yaitu gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajibanm dan tugas pegawai negeri atau penyelenggara negara.

"Dalam hal ini, terpaksa menerima gratifikasi, maka pegawai negeri atau penyelenggara negara wajib melaporkan kepada KPK dalam waktu paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima," demikan isi surat KPK tersebut yang ditandatangani oleh Ketua KPK, Abraham Samad.

Adapun ketentuan yang termasuk gratifikasi menurut KPK adalah jika nilai gratifikasi yang diterima Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima. Sedangkan jika nilai gratifikasi kurang dari Rp10 juta, pembuktian dilakukan penuntut umum.

Adapun contoh gratifikasi yang dimaksud KPK adalah menerima fee atau fasilitas seperti saat penyusunan APBN, penyusunan UU, pembahasan anggaran, pemilihan pejabat publik atau pimpinan lembaga negara. Penerimaan terkait posisi jabatan, pengaruh, seleksi, promosi, mutasi pegawai/jabatan, entertainment, uang jalan, jamuan makan, THR, parcel.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015