Pekanbaru (ANTARA News) - Kementrian Agama (Kemenag) Kota Pekanbaru, Provinsi Riau mengatakan, pihaknya meminta Kantor Imigrasi Kelas I memberikan identitas khusus bagi imigran ilegal yang berada di wilayahnya, serta mengatur jam bepergian untuk memudahkan dikenali.
"Karena jumlah mereka sekarang sudah banyak di Pekanbaru lebih 500 orang, kita tidak bisa membedakan lagi dengan masyarakat," kata Kepala Kemenag Kota Pekanbaru, Edwar S Umar, di Pekanbaru, Jumat.
Menurut dia, identitas khusus ini di perlukan karena rata-rata para imigran yang berasal dari tiga negara, Afganistan, Pakistan dan Iraq tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, bahkan inggris. Sehingga sangat rawan konflik. Sementara keberadaan mereka sejak meminta suaka sangat bebas membaur dan melakukan aktifitas.
Apalagi, masih kata dia, keberadaan para imigran yang sudah menyentuh semua fasilitas umum seperti mal, pasar tradisional dan rumah ibadah ini di khawatirkan dimanfaatkan oleh mereka untuk menyebarkan faham yang mereka anut. Bukan hanya itu, kelebihan fisik dan kegantengan yang mereka miliki tidak jarang menjadi modal untuk menggaet para wanita tempatan.
"Kita juga mengkhawatirkan faham kawin kontrak yang dibenarkan di aliran mereka itu akan diterapkan di sini," katanya.
Jadi dengan identitas khusus semua pihak yang memang sudah memiliki tugas memantau keberadaan mereka bisa lebih mudah mengetahui apa dan dimana mereka berada, selain itu masyarakat juga bisa lebih tahu, dan memberikan batasan dan jarak dalam hubungan sosial.
Selain identitas khusus, masih kata dia, pihak Imigrasi juga dimintakan membuat aturan khusus bagi para imigran dalam hal keluar masuk tempat penampungan. Serta ada kewajiban lapor bagi mereka yang akan bepergian dan kembali dari aktifitasnya.
"Jangan seperti sekarang mereka dengan budayanya melakukan aktifitas sesukanya di tempat kita tanpa mengenal jam malam, mengkonsumsi minuman keras," papar dia lagi.
Menurut dia, meski mereka keberadaannya di jamin oleh lembaga dunia, akan tetapi harus mematuhi budaya dan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini pemerintah daerah melalui imigrasi boleh membuat aturan lokal yang sifatnya untuk menjaga ketertiban bersama. Sehingga keberadaan mereka yang hanya mencari suaka dan menumpang jangan justru membuat masalah baru bagi masyarakat Pekanbaru.
Diakui dia pihaknya dengan para alim ulama sudah menerima laporan miring tentang para imigran ilegal ini dari masyarakat. Baik laporan terkait indikasi upaya penyebaran aliran tertetu, maupun kawin kontrak dan praktek gigolo, meski belum ada yang tertangkap tangan.
Namun kata dia, ini perlu diantisipasi, dan disikapi oleh semua unsur masyarakat, baik pemerintah, tokoh agama.
"Jadi setiap Imigran harus memiliki identitas khusus yang digantung pada lehernya saat mereka bepergian keluar dari penampungan agar mudah terlihat," tegas dia.
Dia juga tidak lupa menghimbau kepada masyarakat agar peduli dan mau melaporkan jika menemukan ada indikasi bahkan tindakan para imigran yang sudah melanggar hukum, jangan mudah teriming-iming dengan uang. Demikian juga untuk kaum wanita, janganlah mudah terpedaya oleh kegantengan, toh mereka orang asing yang datang cuma numpang lewat dan tidak akan bisa menjadi warga negara Indonesia.
"Tidak usah tertarik sama tampilan fisik saja, masih banyak kok para pria Indonesia yang tampan," tambahnya.
Berdasarkan data Kantor Imigrasi Kelas I Pekanbaru pekan terakhir tahun 2014 ada sekitar 553 imigran yang menyerahkan diri. Untuk penampungan karena tidak muat di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), mereka ditempatkan pada beberapa wisma penampungan yang membaur dengan masyarakat tempatan.
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015