Jakarta (ANTARA News) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan 45 hasil analisis berisi transaksi keuangan mencurigakan dari sejumlah kepala daerah dan keluarganya dengan nilai total mencapai triliunan rupiah sepanjang 2014.
"Kami menemukan ada beberapa kepala daerah yang transaksi keuangannya menurut kita tidak sesuai dengan profil, bupati ada 26 orang dengan nilai total uangnya Rp1,38 triliun," kata Ketua PPATK Muhammad Yusuf dalam konferensi pers di gedung PPATK Jakarta, Selasa.
Laporan itu selain berasal dari database yang ada di PPATK juga didapat dari database kepemilikan rekening yang ada pada penjedia jasa keuangan baik bank maupun non bank.
"Selanjutnya gubernur ada 12 orang karena kita lihat berapa gaji gubernur, tapi ternyata masih ada nilai uang yang dilaporkan ke kami (di luar nilai gaji)," tambah Yusuf.
Nilai transaksi dari 12 rekening gubernur tersebut mencapai sekitar Rp100 miliar.
"Kemudian istri gubernur itu 1 orang, transaksinya memang hanya Rp15 miliar, tapi itu baru yang ketahuan, nanti tidak lama seperti Akil Mochtar yang lalu mencapai Rp12 miliar tidak bisa tidak lewat (uang masuk melalui) istrinya," ungkap Yusuf.
PPATK juga menemukan rekening mencurigakan milik 2 orang wakil bupati yang mencapai Rp1,8 miliar.
"Kan tidak ada gaji wakil bupati sebesar itu," tegas Yusuf.
Selanjutnya ada 1 orang wakil gubernur dengan nilai transaksi Rp300 juta.
"Wakil gubenur ada dua orang totalnya Rp1,8 miliar. Lalu ada 1 anak bupati dengan nilai Rp3 miliar. Ini yang juga jadi concern KPK bahwa korupsi itu sudah jadi praktek keluarga," tambah Yusuf.
Namun Yusuf enggan menyebutkan nama-nama kepala daerah maupun keluarganya yang transaksinya mencurigakan teresbut.
"Hasil analisis ini seluruhnya telah disampaikan kepada penyidik sesuai dengan kewenangan masing-masing," katanya.
Namun sayangnya laporan hasil analisis (LHA) yang diberikan PPATK baik ke Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian maupun kejaksaan kerap tidak ditindaklanjuti.
"Banyak LHA yang tidak dipakai dengan berbagai alasan, berangkat dari pengalaman tersebut maka kami memilih mana LHA yang benar-benar kuat dan kemudian mengirimkan ke Dirjen (Direktorat Jenderal) Pajak," tambah Yusuf.
Hasilnya, PPATK mengirimkan 69 LHA terindikasi tindak pidana perpajakan kepada Ditjen Pajak, dari sejumlah LHA itu terdapat potensi pendapatan negara sebesar Rp2,068 triliun.
Potensi itu sebagian telah terealisasi karena Ditjen Pajak memperoleh pelunasan pembayaran pajak kurang bayar dari pihak-pihak terkait sebesar Rp1,04 triliun dan sisanya masih terus dilakukan proses penagihan.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014