Jakarta (ANTARA News) - "Engkau adalah olahragawan, itulah kau punya wilayah, tetapi 'dedication of life'-mu harus untuk Indonesia." "Itulah pesan yang aku berikan padamu saat sekarang ini, dengan harapan agar kita nanti bukan saja dalam pertandingan Asian Games, tapi seterusnya kita membangun suatu nation Indonesia, nation building Indonesia, yang membuat bangsa Indonesia bangsa yang mulia. bangsa yang tegak berdiri, bangsa yang bahagia." Demikian pesan Presiden Indonesia, Soekarno, di depan para atlet dan ofisial di Sasana Gembira Bandung pada 9 April 1961, (Asian Games I-X, Sorip Harahap,1987). Lalu, 41 tahun kemudian, puteri Soekarno, Megawati Soekarnoputeri, tepatnya pada 24 Juli 2002 di depan atlet dan ofisial di Senayan, mengatakan, "Saya sedang tidak berbasa-basi, saya ingin menagih janji. Kalau tadi katanya bisa meraih enam medali emas, bagaimana kalau jadi limabelas. Pasti semua berpikir." Sekitar 100 atlet dan ofisial bertepuk tangan. Tapi Megawati mengatakan, irama tepukan itu seperti ragu-ragu. "Kita punya optimisme yang sebenarnya terkungkung di dalam badan kita. Nah, sekarang bagaimana caranya kita mengeluarkan optimisme itu. Dan ini tergantung kemauan karena itu adalah modal untuk bergerak. Cuma terkadang kita malas," kata Megawati dalam pidato tanpa teks. Wejangan itu keluar dari mulut Presiden RI yang pertama dan kelima yang notabene sebagai ayah dan anak, yang sama-sama berusaha memompa semangat atlet sebelum berjuang di arena pesta olahraga multi-event Asian Games. Kalau sang ayah memacu semangat atlet yang akan terjun di Asian Games IV (1962), maka si anak mencoba memicu semangat atlet yang akan turun di Asian Games XIV (2002). Akhirnya, pada 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan gayanya yang khas juga memberi wejangan kepada para atlet yang akan berjuang di Asian Games, Doha, Qatar, 1-15 Desember mendatang, yang mentargetkan empat medali emas, sama dengan empat tahun sebelumnya di Busan, Korea Selatan. "Peluang saudara kita untuk berprestasi terbuka lebar. Jemput, raih, dapatkan itu," kata Presiden Yudhoyono ketika melepas kontingen Indonesia di halaman Istana. Ia tidak menentukan target, hanya berujar untuk membangkitkan semangat, "Berjuanglah secara maksimal. Ketika lagu 'Indonesia Raya' berkumandang di luar negeri, maka hal itu merupakan kehormatan bagi Indonesia sebagai bangsa yang besar." Bagaimana hasilnya? Catatan sejarah membuktikan, wejangan Soekarno cukup ampuh. Olahraga Indonesia mengalami peralihan cukup drastis, dari jaman perunggu merambat dengan cepat ke jaman emas. Pada Asian Games I di New Delhi (1951), Indonesia menempati urutan ketujuh dari 11 negara yang mengikutinya, setelah meraih lima medali perunggu. Urutan pertama ditempati Jepang disusul India, Iran, Singapura, Filipina dan Sri Lanka. Asian Gemas II di Manila 1954, Indonesia meraih satu medali perunggu dan bertengger di urutan ke-11 dari 18 negara yang tampil. Pada Asian Games III di Tokyo saat 20 negara mengikuti acara itu, Indonesia menempati urutan ke-14 dengan raihan tiga medali perunggu. Jepang tetap berada di urutan pertama, seperti pada acara sama yang pertama dan kedua. Keberhasilan dramatis Ketika Asian Games diadakan di Indonesia pada 1962 -- dengan persiapan cukup dramatis, baik untuk sarana dan prasarana pertandingan mau pun ketika menyiapkan atletnya, dengan mengejutkan Indonesia menyodok ke urutan kedua setelah Jepang. Kalau negara 'Matahari Terbit' itu meraih 73 medali emas dari 120 yang direbutkan oleh 17 negara, maka tuan rumah Indonesia mendapat 11 medali emas untuk menyodok ke urutan kedua. Ketika itu, Indonesia menyodok kekuatan olahraga yang sebelumnya berada di tangan atlet Muangthai (Thailand), Filipina, India dan Korea Selatan. Sedangkan China masih belum tampil saat itu. Setelah Asian Games IV itu berlalu, kendati Indonesia masih berada dalam jaman emas, Indonesia sudah tidak pernah lagi memasuki urutan lima besar. Empat tahun setelah itu, saat Asian Games V digelar di Bangkok, Indonesia langsung melorot ke urutan ketujuh dengan meraih lima medali emas. Urutan pertama ditempati Jepang dengan 78 medali emas disusul Korsel (12), Thailand (12), Malaysia (7), India (7) dan Iran (6). Rasa kebersamaan rakyat Asia yang cukup kuat saat itu -- setelah lepas dari belenggu penjajahan -- sehingga ingin membuktikan ke kancah internasional bahwa Asia mampu menyelenggarakan pesta olahraga dan dapat mewujudkan prestasi di bidang kepiawaian fisik, meresap ke dalam sukma semua rakyat termasuk masyarakat Indonesia. Kalau rasa kebersamaan Asia itu sudah cukup erat, tapi masih kalah erat dibanding dengan keinginan atlet Indonesia yang ingin membuktikan negaranya bukan saja sukses dalam hal penyelenggaraan acara itu, tapi juga berhasil menggalang kekuatan untuk melonjak ke urutan atas, alias dengan kesadaran penuh mengubah perjalanan sejarah dari jaman perunggu ke jaman emas. Dari raihan medali perunggu ke jaman perolehan medali emas. Apakah unsur wejangan Presiden Soekarno itu berpengaruh memaknai keberhasilan itu? Dalam catatan sejarah disebutkan wejangan Bung Karno itu memang membuat dada para atlet dan ofisial berdegup kencang. Mereka ingin membalas budi, karena sudah menyaksikan kerja keras pemerintah dan masyarakat dalam membangun Jakarta agar layak menjadi tuan rumah acara olahraga itu, setelah sebelumnya beberapa negara menyatakan khawatir dengan persiapan Indonesia. Bung Karno ketika itu memang idola, panutan dan kata-katanya selalu membuat jiwa pendengar orasinya bergetar. Atlet maju ke medan tempur dengan semangat juang tinggi dalam usaha mengharumkan nama bangsa dan negara. Bagaimana dengan target 15 medali emas yang dicanangkan Megawati? Bagaimana dengan asumsinya bahwa "kita" sekarang ini malas, sehingga dibutuhkan kemauan besar untuk bergerak? Kuncinya pada ungkapan Megawati: "Hal terpenting saat ini adalah membangkitkan kemauan yang ada dalam diri sendiri, menanamkan sikap pantang menyerah dan kemauan keras untuk menang." Apakah wejangan Megawati itu membuat dada pada atlet dan ofisial juga berdegup kencang? Yang jelas hasil empat medali emas yang diperoleh di Busan, menurun dari enam medali emas yang diraih empat tahun sebelumnya di Bangkok. Kini, apakah wejangan Presiden Yudhoyono membuat dada para atlet dan ofisial berdegup kencang? Apakah insan olahraga Indonesia berdegup dadanya dan bersemangat jiwanya dalam usaha meraih empat medali emas ,-- tidak beranjak dari empat tahun lalu, -- dari 424 medali emas yang direbutkan di Doha? Wallahualam bissawab. (*)
Oleh Oleh AR Lubis
Copyright © ANTARA 2006