"Tanjung Perak mas, kapale kobong. Monggo Pinarak mas, kamare kosong". (Tanjung Perak mas, kapalnya terbakar. Mari mampir mas, kamarnya kosong).
Begitulah parikan atau pantun manis merayu memanja yang keluar dari bibir bergincu para wanita yang bergelut dalam bisnis prostitusi di Surabaya sepanjang 2014. Namun, parikan tersebut tidak lagi manis, seiring dengan adanya perhatian khusus dari Wali kota Surabaya Tri Rismaharini untuk menutup semua lokalisasi di Surabaya.
Lokalisasi itu dinilai melanggar aturan dan membahayakan anak-anak. Karenanya, Risma mengaku ikhlas menanggung resiko meninggal dunia asalkan lokalisasi di Surabaya dapat ditutup. Risma mengatakan, upaya penutupan lokalisasi ada karena saat itu ada 20 ulama yang mendatanginya dan menghendaki lokalisasi ditutup.
Saat itu dirinya bingung karena jika lokalisasi Surabaya benar benar ditutup, para pekerja seks komersial (PSK) bisa tersebar kemana-mana. Kemudian, dia melakukan peninjauan dengan mengunjungi sekolah-sekolah di kawasan prostitusi Dolly, yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara. Ia berputar-putar dan mengajar di sekolah-sekolah daerah itu.
"Setelah dua jam mengajar, saya mendapati pandangan anak-anak itu kosong dan mereka menangis. Setelah saya telusuri, ternyata ada benang merah yaitu lokalisasi," katanya.
Dia menegaskan, tidak ada gunanya Surabaya cantik, bersih kalau anak-anak hidup di suasana yang tidak diinginkan. Dengan adanya lokalisasi tersebut, yang paling dirugikan adalah anak-anak.
Anak-anak menjadi dekat dengan praktik seks bebas, pemikiran negatif hingga narkoba. "Apakah para orang tua bersikap egois hanya demi perut, tetapi merugikan anak-anak kita?! saya kira tidak," tanyanya.
Untuk itu, kata Risma, anak-anak harus diselamatkan dari bahaya eksistensi lokalisasi karena masa depan bangsa terletak di tangan anak-anak. Risma mengatakan penutupan lokalisasi bukan semata-mata karena masalah halal-haram atau surga-neraka.
Komitmen Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadikan Surabaya bebas lokalisasi mulai dibuktikan dengan ditutupnya empat lokalisasi selama 2012-2013.
Keempat lokalisasi tersebut adalah Dupak Bangunsari Kelurahan Moro Krembangan Kecamatan Krembangan pada 21 Desember 2012, Lokalisasi Kremil Tambak Asri, Kelurahan Morokrembangan, Kecamatan Krembangan pada 28 Mei, Lokalisasi Klakahrejo, Kecamatan Krembangan pada 20 November dan terakhir Lokalisasi Sememi, Kecamatan Benowo pada 23 Desember 2013.
Rincian kondisi lokalisasi yang ditutup yakni lokalisasi Dupak Bangunsari sebanyak 61 wisma, 50 mucikari, 163 PSK. Lokalisasi Tambak Asri sebanyak 96 wisma, 96 mucikari, 354 PSK. Lokalisasi Klakahrejo yakni 70 wisma, 65 mucikari, 219 PSK dan lokalisasi Sememi yakni 32 wisma, 22 orang, 208 PSK.
Akhir dari Dolly
Setelah 40 tahun mewarnai wajah Kota Surabaya, lokalisasi yang disebut terbesar se-Asia Tenggara yakni Dolly dan Jarak di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan kini secara resmi telah ditutup.
Legalitas Dolly sebagai tempat prostitusi mulai terkikis setelah pemerintah mendeklarasikan perubahan alih fungsi wisma pekerja seks komersial (PSK) dan alih profesi PSK.
Deklarasi yang berlangsung di Gedung Islamic Center Surabaya pada Rabu (18/6) itu dihadiri Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf, Kapolda Jatim Irjen Pol Unggung Cahyono, Kapolrestabes Surabaya Kombespol Setija Junianta, Komandan Korem Bhaskara Jaya Kolonel Arh Nisan Setiadi, dan Kepala Staf Garnisun Tetap III/Surabaya Brigjen TNI (Mar) R. Gatot Suprapto, Ketua DPRD Surabaya, Jajaran Forum Pimpinan Daerah (Forpimda), Ketua UMI Jatim, dan ribuan warga di kawasan Dolly, mulai dari PSK, mucikari, pengurus RT/RW, tokoh masyarakat setempat hingga warga terdampak.
Deklarasi itu mengakhiri sejarah panjang Dolly yang berdiri pada awal 1970-an pascapenggusuran warga stren Kali Jagir oleh Wali Kota Surabaya saat itu, R. Soekotjo. Para warga korban penggusuran itu dipindahkan ke sebuah lokasi yang dekat dengan makam warga Tionghoa Kembang Kuning di kawasan Putat Jaya dan Girilaya.
Kultur warga stren kali saat itu yang dekat dengan kemiskinan menakibatkan pelacuran tumbuh kembang di kawasan itu. Muncul seorang PSK keturunan Belanda bernama Dolly van Der Mart yang cukup terkenal hingga saat ini.
Kawasan Dolly terus berkembang hingga dari jumlah PSK dan luas wilayah operasi, Dolly disebut-sebut mengalahkan lokalisasi di distrik lampu merah Phat Pong di Bangkok, Thailand. Hampir puluhan ribu orang berkunjung setiap malam ke Dolly.
Uang yang berputar di Dolly diperkirakan mencapai miliaran rupiah dalam sehari dan ada sekitar belasan ribu orang yang menggantungkan hidupnya di sana, mulai sopir taksi, penjual makanan, hingga warga yang menyewakan lahan parkir. Bahkan, sebagian aliran uang panas tersebut diduga jatuh ke aparat, mulai RT, RW, Satpol PP, oknum polisi, hingga oknum TNI.
Namun deklarasi itu seolah-olah hanya formalitas karena pada Jumat malam (20/6) lokalisasi Dolly masih tetap buka seperti biasa. Hanya, penjagaan cukup ketat dilakukan untuk menghindari gerebekan aparat atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Sementara itu, jalanan di Gang Dolly pada saat malam hari terlihat masih ramai oleh orang berjaga-jaga dan terus memantau tamu asing yang datang ke wilayahnya. Ini dikarenakan mereka merasa terancam dengan masuknya gerakan dari kelompok tertentu yang biasanya datang tiba-tiba.
Meski demikian, kondisi Dolly dua hari setelah deklarasi penutupan mulai terlihat sepi. Meski masih banyak wisma yang nekat buka, tidak banyak pelanggan yang datang.
Koordinator FPL Saputra alias Pokemon membebaskan warga setempat untuk kembali membuka wismanya. "Kalau ada yang mau buka, akan kami lindungi. Kalau mau tutup, ya silakan tutup," katanya.
Menurut dia, deklarasi itu tidak ada dasar hukumnya. Tapi kalau Wali Kota Surabaya mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota terkait penutupan itu, nanti akan dipelajari untuk mengajukan gugatan hukum.
Koordinator Tim Advokasi Front Pekerja Lokalisasi Anisa mengungkapkan bahwa deklarasi pemkot itu tidak berkekuatan hukum. Menurut dia, lokalisasi tetap buka seperti biasa. "Tetap buka, tidak apa-apa," tegasnya.
Sementara itu, para PSK pun memilih pasrah dengan perkembangan yang ada. "Kami manut saja. Takut kalau ada apa-apa," kata salah seorang PSK yang namanya enggan disebut.
Saat ditanya bagaimana jika ada operasi atau razia? ia meyakini tidak akan ada operasi karena ada banyak orang yang berjaga-jaga. "Tapi, kalaupun ada, paling saya dipulangkan," katanya.
Alih Fungsi
Ada empat poin utama dalam deklarasi itu yakni warga menyepakati kawasan Putat Jaya bebas prostitusi, alih profesi di bidang lain yang sesuai dengan tuntunan agama dan peraturan, mendukung penindakan tegas terhadap para pelaku trafficking atau perdagangan orang, serta siap membangun kawasan Putat Jaya menjadi daerah yang lebih aman, maju, dan makin baik dengan bimbingan pemerintah.
"Yang harus dipertahankan adalah sesuatu hal positif, kalau tidak positif tidak perlu dipertahankan," kata Mensos saat itu, Salim Segaf Al Jufri, saat memberikan sambutan pada acara Deklarasi.
Menurut dia, pihaknya memberikan apresiasi kepada pihak-pihak terkait yang sudah berusaha menutup prostitusi terbesar se-Asia Tenggara yakni Dolly dan Jarak. "Sekitar 2-3 tahun, kami bersama dengan pemda optimal untuk mengatasi permasalahan ini," katanya.
Gubernur Jatim Soekarwo dalam sambutannya mengucapkan terima kasih atas kerja sama dalam suksesnya acara ini. Ia mengatakan masyarakat dalam bekerja harus bermartabat.
"Ini program kemanusiaan. Maka kami acc apa yang diminta Bu Wali Kota dalam soal Dolly. Pemerintah tak akan membiarkan warga keleleran. Memang dulu penghasilan banyak, namun ditutup memang berkurang," katanya.
Soal PSK akan dikembalikan ke daerah asal, pihaknya sudah koordinasi dengan bupati/wali kota di Jatim. Pihaknya telah menyiapkan APBD Jatim untuk mengentaskan mereka.
Dalam kesempatan itu diberikan bantuan dari Kemensos sebesar Rp7 miliar dan, Gubernur Jatim sebesar Rp1,5 miliar kepada PSK serta warga terdampak lokalisasi.
Konsep Pembangunan
Tri Rismaharini tidak memungkiri bahwa rehabilitasi kawasan lokalisasi butuh proses. Ia mencontohkan eks-lokalisasi Sememi dan Klakahrejo saat ini pembangunan fisik masih berlangsung.
"Padahal, deklarasi alih fungsi di kedua lokasi tersebut sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu. Artinya, tidak ada sesuatu yang instan," katanya.
Namun, kata dia, ada perubahan signifikan di bekas lokalisasi, di samping kondisi lingkungan yang lebih nyaman, harga tanah juga melonjak drastis, seperti yang terjadi saat ini di eks-lokalisasi Dupak Bangunsari.
Perubahan serupa diharapkan wali kota juga terjadi di Dolly dan Jarak. Warga terdampak, PSK dan mucikari hendaknya beralih ke profesi lain yang sebetulnya lebih menjanjikan.
Dalam hal ini, pihaknya akan menyulap lokalisasi Dolly menjadi kawasan bisnis dengan sejumlah fasilitas umum. Tak hanya membeli wisma New Barbara 22 senilai Rp9 miliar, orang nomor satu di Surabaya itu hendak membangun lapangan fustal.
Selain itu, Risma juga akan membangun gedung enam lantai yang akan difungsikan sebagai sentra pedagang kaki lima (PKL). Lantai dua untuk usaha makanan kering, lantai tiga dan empat khusus untuk perpustakaan dan komputer. Lantai lima akan digunakan untuk taman bermain anak-anak, sedangkan untuk lantai enam akan difungsikan sebagai balai RW.
Dalam pembelian wisma yang sudah dilengkapi lift ini, Risma setidaknya merogoh kocek anggaran negara sebesar Rp9 miliar. "Setidaknya di Dolly ini kami sudah memiliki sebanyak 10 titik lokasi. Tapi luasannya kecil-kecil. Nanti juga akan dibangun kantor Polsek Sawahan di Dolly ini," katanya.
Risma mengklaim saat ini sudah ada beberapa warga yang mengajukan untuk mendapat pelatihan montir. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, wisma-wisma yang sudah dibeli Pemkot Surabaya akan diubah menjadi bengkel, baik bengkel mobil ataupun motor.
Oleh Abdul Hakim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014