Jakarta (ANTARA News) - Tiongkok yang tampil sebagai negara adikuasa baru dengan kekuatan ekonomi dan belanja pertahanannya yang terus meningkat mendapat sorotan dan mencemaskan para aktor di kawasan khususnya terhadap aktivitas-aktivitas negara itu di Asia Timur dan Tenggara.
Satu laporan yang disiarkan oleh majalah IHS Janes Defence beberapa waktu lalu mengungkap rincian-rincian baru tentang satu proyek reklamasi yang Tiongkok sedang lakukan di Pulau Karang Fiery Cross, yang dikenal dengan nama Yongshu di Tiongkok. Pulau itu merupakan bagian dari Kepulauan Spratly, yang Tiongkok sebut Nansha.
Beijing mengklaim hampir seluruh Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang kaya sumber daya alam, sementara Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Taiwan ikut mengklaim juga.
Beberapa di antara mereka membangun struktur di pulau-pulau karang atau menduduki pulau-pulau di kawasan itu.
Masih menurut laporan IHS Janes Defence, pulau buatan berukuran panjang 3.000 meter dan lebar 200-300 itu, merupakan salah satu proyek reklamasi yang Tiongkok bangun di kawasan itu tetapi jelas proyek pertama yang dapat mengakomodasi satu lapangan terbang. Satu pelabuhan juga dibuat di bagian sisi timur dari pulau tersebut yang tampaknya cukup besar untuk menampung kapal tanker dan kapal perang angkatan laut.
Kegiatan Beijing juga telah mengkhawatirkan pemerintah-pemerintah lain seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam satu pidato penting mengenai kebijakan luar negeri akhir Nopember mengatakan bahwa negara Asia itu akan melindungi kedaulatan wilayahnya, kata kantor berita Xinhua.
"Kita harus dengan tegas mempertahankan kedaulatan wilayah Tiongkok, hak-hak maritim dan kepentingan-kepentingan dan persatuan nasional," kata Xi dalam satu rapat Partai Komunis mengenai masalah-masalah luar negeri yang diselenggarakan Jumat dan Sabtu, kata kutipan dari pidatonya yang disiarkan Xinhua Ahad (30/12).
Hubungan antara Tiongkok dan Jepang tegang dua tahun belakangan ini setelah Tokyo menasionalisasi pulau-pulau Senkaku, yang telah dikuasainya, di Laut Tiongkok Timur. Beijing juga mengklaim kepulauan itu, yang dinamakannya pulau-pulau Diaoyu.
Tiongkok dan negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) termasuk Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam juga saling klaim atas Kepulauan Spratly di LTS. Taiwan, yang Tiongkok anggap sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya juga mengklaim bagian Kepulauan Spratly.
Xi, presiden Tiongkok dan juga Sekjen Partai Komunis itu, menambahkan negaranya akan "menangani dengan layak sengketa-sengketa wilayah dan pulau itu" tetapi tidak menyebut nama negara-negara itu.
Selain Tiongkok, ada aktor-aktor besar besar lainnya yaitu Amerika Serikat, India, dan Jepang. Mereka memberikan perhatian khusus kepada kawasan ini. Persaingan mereka dapat dilihat di LTS dan Selat Malaka.
Filipina mempertanyakan legalitas klaim Beijing atas hampir seluruh LTS dan membawanya ke depan sidang artbitrase yang berbasis di Belanda. Belakangan Manila memuji dukungan Vietnam atas sikap yang diambilnya itu. Manila mengatakan, langkah Vietnam itu tak terduga, dan menambahkan bahwa pihaknya telah melakukan "konsultasi-konsultasi" dekat secara bilateral dengan Hanoi serta dalam ASEAN.
Vietnam keberatan dengan garis sembilan-titik yang diklaim Tiongkok - melingkar membentuk lidah yang mencakup hampir semua perairan yang kaya sumber daya - dan tindakannya yang merusak klaim negara tetangga di Asianya yang lebih kecil.
Tiongkok telah berulang kali mengatakan bahwa pihaknya tidak akan bergabung dalam arbitrase dan mempertahankan "kedaulatannya yang disengketakan" atas perairan tersebut, di mana Malaysia, Brunei dan Taiwan juga ikut mengadu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam Le Hai Binh yang menyinggung soal jurisdiksi dalam Arbitrasi LTS mengatakan bahwa Vietnam memiliki bukti sejarah dan fondasi legal atas kepulauan Hoang Sa dan Truong Sa.
Partisipasi Aktif Indonesia
Sebagai salah satu pendiri ASEAN dan aktor penting dalam menciptakan perdamaian di kawasan, kepemimpinan nasional Indonesia yang baru diharapkan memiliki kesadaran tinggi terhadap potensi-potensi yang dimiliki oleh Indonesia. Para pemimpin Indonesia sebelumnya telah memperlihatkan kepemimpinan turut berpartisipasi aktif bagi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan misalnya di LTS.
"Peran RI terkait dengan upaya menyelesaikan klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan tidak dapat dilepaskan dari kerangka kerja Komunitas ASEAN yang beriringan dengan Kerangka Kerja Kemitraan ASEAN dengan Tiongkok," kata Direktur Pusat Kajian Indonesia untuk Demokrasi, Diplomasi dan Pertahanan (IC3D), Begi Hersutanto.
Begi mengatakan masyarakat ASEAN terbangun oleh tiga pilar utama, dimana salah satu pilar tersebut adalah Komunitas Ekonomi ASEAN dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN yang berpikir ke arah terciptanya derajat interaksi antarekonomi intra-ASEAN pada derajat yang tinggi dan berpikir ke arah pembangunan hubungan antara masyarakat (people-to-people relations) sesama anggota ASEAN.
"Jika implementasi kedua visi pilar tersebut segera terwujud pada tahapan derajat yang sangat signifikan, akan tercipta suatu kondisi ketergantungan antar-ASEAN," kata pengamat hubungan internasional itu.
Menurut dia, hal tersebut cepat atau lambat akan mengundang negara-negara non-ASEAN untuk juga merasa berkepentingan turut serta ambil bagian dalam dinamika ASEAN yang kondusif.
Pendekatan sedemikian rupa, melalui kerangka kerja ASEAN yang tidak berorientasi pada pendekatan keamanan semata, nampaknya lebih "visible" bagi terciptanya stabilitas dan mencegah terjadinya eskalasi di LTS. "Dalam hal ini selama dua dekade terakhir terbukti Indonesia berhasil mempromosikan hal tersebut," kata Begi.
Dengan kata lain, Indonesia bersama dengan para anggota ASEAN selama bertahun-tahun sejak berdirinya tahun 1967 menjunjung tinggi kesepakatan persahabatan dan kerja sama (TAC) ASEAN dan ke depan harus memperluas traktat sejenis ke negara-negara di kawasan Samudera Hindia dan Pasifik untuk mengupayakan rasa saling percaya dan menciptakan stabilitas di kawasan.
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014