10 tahun lalu, saat tsunami, kami tidak memiliki pengalaman sedikit pun tentang bencana

Banda Aceh (ANTARA News) - Sepuluh tahun lalu, tepatnya sekitar pukul 7.59 WIB, 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 8,9 skala richter menguncang Aceh bersamaan gelombang laut (tsunami) menerjang provinsi paling barat di Indonesia.

Ketika itu, bangunan rumah, perkantoran pemerintah dan swasta serta kendaraan bermotor hancur dan berserakan terhempas ganasnya tsunami setelah gempa kuat berpusat di perairan Samudera Hindia.

Sepuluh tahun silam, Aceh luluh lantak akibat bencana, Indonesia pun "menangis" karena bumi Iskandar Muda itu benar-benar hancur disebabkan tsunami yang telah menelan korban meninggal dunia dan hilang lebih 200 ribu jiwa.

26 Desember 2004, jasad-jasad manusia terbaring kaku di atas trotoar jalan, di atas puing-puing bangunan yang hancur. Sementara yang sakit dan terluka hanya bisa berucap "aduh", dan menjerit menahan kesakitan karena memang tidak ada yang dapat menolong.

Bumi Aceh benar-benar menangis, jeritan ribuan anak terlepas dari orang tuanya, sebaliknya para orang tua yang kehilangan anak-anaknya. Para orang kaya menjadi papa harta yang sebelumnya melimpah tersapu tsunami.

Bencana itu, telah menyebabkan pula Aceh mendunia dan berbagai suku bangsa dan agama menyatu, saling bahu membahu menjalankan misi kemanusiaan untuk meringankan penderitaan masyarakat Serambi Mekah akibat tsunami.

Bahkan, pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika itu menyatakan tsunami di Aceh sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi.

Bersamaan dengan itu, bantuan internasional mulai digerakkan menuju kawasan bencana. Selain Aceh, kawasan lain terparah yang dilanda tsunami adalah Khao Lak di Thailand dan sebagian Sri Lanka dan India.

Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, yang biasanya sehari didarati dua kali penerbangan komersil, beberapa hari pascatsunami puluhan pesawat berbagai ukuran mendarat membawakan bantuan.

Selanjutnya, Bandara Sultan Iskandar Muda berubah menjadi tersibuk di Sumatera karena didarati pesawat sipil dan militer dari berbagai negara, yang mengangkut orang dan logistik dari masyarakat nasional maupun internasional.

Aceh sepuluh tahun lalu, dipenuhi ratusan titik pengungsi sejak dari Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya.

Trauma akibat tsunami tidak serta merta pulih, masyarakat berhari-hari hidup dalam suasana mencekam dan kepanikan disebabkan gempa bumi yang menguncang bumi Aceh setiap 30 menit satu kali.

Jasad-jasad korban tsunami itu satu persatu dievakuasi relawan baik dari kalangan militer internasional maupun TNI serta Polri dan organisasi sipil. Mayat korban tsunami dikuburkan di pemakaman umum secara massal.

Bencana tsunami yang terparah melanda Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat itu telah mengakibatkan lebih dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Sekitar 800 kilometer garis pantai hancur dan lebih dari 3.000 hektare lahan hanyut atau terendam air laut. Pelabuhan, jalan, dan jembatan rusak.

Sarana pendidikan berupa sekolah dan kampus serta fasilitas kesehatan dan sumber air bersih juga terkoyak parah.

Bencana tsunami juga mengakibatkan lebih dari 2.100 sekolah rusak atau hancur, termasuk juga Taman Kanak-Kanak, sekolah teknik dan kejuruan serta lembaga pendidikan tinggi.

Di Kota Banda Aceh, sekitar 85 persen dari seluruh infrastruktur rusak akibat tsunami. Kerusakan lebih dari 3.000 kilometer jalan di sejumlah daerah di Aceh, jembatan dan pelabuhan telah memotong akses ke banyak wilayah pantai di provinsi itu.

Beberapa bulan setelah tsunami, konflik berdarah lebih 30 tahun juga terhenti setelah Pemerintah RI dan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani nota kesepahaman penghentian kekerasan (MoU) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

10 tahun

Kini, bencana tsunami telah 10 tahun berlalu, Aceh terus berbenah diri dan bertekad ingin terus membangun guna mewujudkan Aceh makmur, sejahtera dan bermartabat dalam bingkai Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pascatsunami, setiap 26 Desember, masyarakat dan pemerintah menyelenggarakan berbagai kegiatan sebagai refleksi tahunan, misalnya dengan berzikir dan doa bersama kepada para keluarga, saudara, orang tua dan anak yang telah meninggal dunia dalam bencana itu.

"Harapan kami agar bencana tsunami yang menimpa Aceh 10 tahun lalu, benar-benar bisa menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat di masa mendatang," kata M Wahidi, salah seorang penyintas tsunami Aceh.

Terkait pelajaran tentang kebencanaan, Wahidi menjelaskan agar masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai tetap harus memiliki pengetahuan tentang tsunami.

Artinya, masyarakat pesisir pantai terutama di daerah rawan gempa perlu memahami sehingga mereka benar-benar bisa mengantisipasi diri dan keluarganya jika tsunami terjadi.

"10 tahun lalu, saat tsunami, kami tidak memiliki pengalaman sedikit pun tentang bencana, sehingga saat air laut surut maka sebagian masyarakat ada yang lalai mencari ikan, tentunya tidak bisa lari menyelamatkan diri saat tsunami menerjang," katanya menjelaskan.

Wahidi yang mengaku kehilangan lebih 20 orang saudaranya, termasuk kedua orang tuanya. Ia menjelaskan, ada warga mengira di udara ada pesawat tempur yang sedang melintas saat mendengar suara keras sebelum air laut menerjang.

"Masyarakat mengira ada pesawat tempur melintas saat mendengar suara yang cukup keras. Padahal itu suara air laut saat tsunami menyapu. Saat itu pula, ombak yang membawa material bangunan menghantam desa kami," kata dia menceritakan.

Wahidi yang kini menempati sebuah rumah permanen bantuan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Turki di Gampong Lampoh Daya, Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh itu adalah seorang pedagang.

Sementara itu, Nurmala, korban tsunami di Gampong Pie Ulee Lhue mengharapkan agar pemerintah tetap menjadikan 26 Desember sebagai hari berkabung untuk mengenang para syuhada korban tsunami.

"Untuk itu, pemerintah perlu melahirkan aturan seperti Qanun agar kapan pun dan siapapun yang memimpin Aceh tetap menjadikan 26 Desember sebagai hari berkabung untuk korban tsunami," kata Nurmala yang menghuni rumah bantuan NGO Uplink.

Saat bencana tsunami itu, Nurmala kehilangan anak dan suami serta seluruh anggota keluarganya.

"Saat itu, saya sebatang kara. Hari-hari saya lalui dengan mencari keluarga dan bersabar karena tsunami itu adalah musibah yang merupakan cobaan Allah SWT," katanya menambahkan.

Sementara itu, anggota DPR Aceh Abdurrahman mengimbau masyarakat agar menjadikan hari refleksi tsunami 26 Desember untuk tetap instrospeksi diri, karena itu adalah musibah besar yang harus menjadi pembelajaran.

"Banyak makna yang harus kita petik dari bencana tsunami, sehingga kita kedepan tetap menjadi orang-orang yang bertawakal kepada Allah. Tsunami mungkin sebuah teguran bagi kita telah banyak berbuat kesalahan dalam hidup ini," kata dia.

Selain itu, sebelum tsunami mungkin banyak melakukan kesalahan dan kekerasan terhadap sesama umat manusia, sehingga Tuhan menegurnya melalui bencana, kata dia menambahkan.

Abdurahman juga menjelaskan, sebelum tsunami mungkin pemerintah banyak melakukan kesalahan atau korupsi, maka bencana itu harus menjadi pembelajaran bahwa perbuatan tersebut melanggar kaidah agama.

"Artinya, melalui tsunami yang menerjang daerah kita maka mari mengevaluasi diri agar mulai saat ini dan hingga ke depan, pemerintahan di Aceh berjalan tanpa korupsi dan sesama kita tidak saling menyakiti. Tumbuhkan semangat silaturrahmi sesama umat," pungkas Abdurrahman.

Oleh Azhari
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014