Rosmidar meninggalkan kampungnya, desa Lambodeuk di Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, dan bekerja di Rumas Sakit Bersalin Harapan Bunda atas desakan orang-orang yang menginginkan keselamatan dirinya.
"Waktu itu masih ada konflik bersenjata dan anak gadis seperti saya rawan untuk tinggal di kampung saya," katanya mengenai kenangan satu dasawarsa yang lalu.
Baru sehari bekerja di rumah sakit tersebut, terjadi gempa bumi yang dahsyat disusul tsunami pada Minggu pagi 26 Desember 2004.
Rosmidar pun berlari kencang bersama warga lain ketika mendengar teriakan panik mengenai "air laut yang naik".
"Saya selamat karena berhasil mencapai lantai tiga Masjid Teuku Umar," katanya tanpa bisa menjelaskan bagaimana dia bisa mencapai tempat itu kecuali terus berlari.
Pada saat air reda, ia turun karena berniat menengok rumah kakaknya di sekitar tempat tersebut, namun suasana belum aman, terjadi gelombang kedua tsunami yang lebih tinggi, maka ia pun berlari lagi dan selamat lagi karena berhasil menumpang truk kemudian mengungsi di rumah seorang tentara.
"Semalaman kami tidak tidur. Karena cemas, dan bingung," kata Rosmidar yang baru menyadari bahwa tubuhnya penuh luka gores, demam dan kelaparan.
Ia juga terkenang pemandangan mengerikan yang sempat dilihatnya, terkenang pasien dan bayi-bayi yang masih berada di rumah sakit, juga seorang gadis kecil yang sempat ditolongnya karena terluka, tetapi kemudian terpisah kembali darinya.
Menurutnya, tiang air bergerak seperti mencakar-cakar apapun yang ada di hadapannya, bangunan, mobil dan orang-orang yang tidak sempat menghindar. Airnya kuning, hitam pekat bukan seperti air laut biasa.
Pada saat kepanikan mulai reda keesokan harinya, Rosmidar pulang ke kampungnya yang terletak hanya beberapa ratus meter dari garis pantai, telah menjadi rata.
Ia berusaha melacak keberadaan keluarga, terutama adik bungsunya.
"Saya bertemu dengan kakak, tetapi kami kehilangan nenek, dua kakak dan para keponakan yang tinggal satu rumah," katanya.
Rosmidar sudah menjadi yatim-piatu sejak usia 15 tahun. Ibunya menyusul ayahnya hanya 25 hari setelah kematiannya dan kemudian dia bersama kakak-adiknya diasuh oleh nenek.
"Berhari-hari saya mencari keluarga di tempat pengungsian dan mengulik mayat-mayat, bahkan kaki saya sempat terluka karena berendam di dalam kubangan berwarna kuning," kata Rosmidar yang hanya menemukan dua jasad kakaknya.
Menurutnya air laut yang menyapu Banda Aceh mengandung belerang atau "sesuatu zat" karena melapisi jenazah korban yang menjadi keras dan air itu yang diduga menyebabkan korban cepat meninggal ketika terminum.
Akhirnya ia berhasil menemukan adik bungsunya dan mereka kemudian tinggal di tenda pengungsian selama dua bulan kemudian pindah ke barak di Lambaro Siron sejak Februari 2005 hingga tahun 2007.
Pukulan itu membuatnya menjadi pendiam dan mengurung diri, di luar kesadarannya sehingga ia didampingi oleh psikolog yang "menyembuhkan luka batinnya".
"Saat itu saya marah kepada Tuhan karena merasa diberi cobaan berat bertubi-tubi, yaitu menjadi yatim piatu, terancam dalam konflik bersenjata lalu terkena tsunami. Saya tinggal berdua dengan adik bungsu di barak yang sempit. Sementara dulu rumah kami sangat luas. Saya tidak bisa menerima beban itu sekaligus," Rosmidar mengusap air mata yang menggenagi matanya.
Setiap hari ia menjalani perawatan, diajak melihat laut dan gunung, diminta menggambar dan berbincang-bincang.
"Saat masih marah saya menggambar laut dengan warna merah," katanya.
Pelan-pelan ia sembuh karena bisa dibangitkan untuk menemukan tujuan hidup.
"Saya ingat adik perempuan yang masih kecil yang kini hidupnya bergantung pada saya. Kakak-kakak yang selamat sudah mempunyai keluarga dan mereka juga harus hidup dengan keluarganya," kata dia.
Menjadi Relawan
Setelah sembuh, lembaga yang menolong saya meminta saya berbagi dan membantu menyembuhkan orang-orang lain, khususnya anak-anak.
Meski awalnya ragu karena lembaga tersebut adalah lembaga keagamanan Nasrani, tetapi dengan keyakinan yang kuat dan tetap tegus dalam iman sebagai seorang Muslimah, Rosmidar memutuskan menerima tantangan menjadi relawan dengan julukan "Sang Luka yang Menyembuhkan".
"Tugas saya mengajak anak-anak di tempat pengungsian untuk bermain," kata Rosmidar yang bergabung dalam Forum Kemanusian Persaudaraan Indonesia di Aceh.
Sambil bekerja sebagai relawan dan hidup dari bantuan, Rosmidar menyekolahkan adiknya hingga ia sendiri baru bisa mengambil kuliah kelas malam pada tahun 2010.
"Sebagai lulusan SMA saat itu saya sering minder karena pada umumnya relawan lain adalah para sarjana."
Pada tahun 2007, Rosmidar dan adiknya bisa menghuni rumah baru yang dibangun di atas bekas rumah lama dan tahun itu pun ia beralih bekerja pada LSM Solidaritas Perempuan.
Tantangan yang dihadapinya cukup berat, karena dua anak gadis tinggal di rumah tanpa didampingi orang dewasa lain, kemudian kesibukannya yang luar biasa membuat ia kerap pulang malam dan menjadi bahan gunjingan.
"Saya mengatasinya dengan mengajak beberapa ibu untuk ikut dan melihat langsung apa yang saya kerjakan, tetapi fitnah lain bahkan ancaman fisik dan dikata-katai masih terus ada, terutama dari mereka yang merasa dirugikan," katanya.
Rosmidar mengaku bekerja secara jujur, khususnya ketika membantu menyalurkan bantuan bagi masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mencari "keuntungan" dari peristiwa itu justru memaki dan mengancamnya.
Langkah Rosmidar tidak surut, hingga kini ia dikenal sebagai relawan yang aktif melakukan kegiatan.
"Yang membuat saya bangkit karena saya sudah tahu tujuan hidup saya, yaitu merawat dan menyekolahkan adik. Bila saya terpuruk, saya akan merasa berdosa karena menelantarkan adik," kata gadis berperawakan tinggi ini.
Prinsip hidupnya adalah "tidak berhenti untuk melakukan perubahan yang baik pada diri sendiri maupun bagi orang lain".
Rosmidar kini tidak lagi marah kepada Tuhan dan ia merasa hidupnya berguna.
"Tapi saya masih belum bisa menghilangkan air mata ini setiap bercerita," tangannya kembali mengusap air mata sementara bibirnya tersenyum.
Baginya Provinsi Aceh sekarang menjadi lebih baik, ia tidak terlalu takut untuk keluar rumah hingga malam, orang menjadi lebih terbuka, namun ada banyak tradisi yang bergeser.
Kehidupan sosial masyarakat yang dulu guyub dan suka menolong, kini cenderung menjadi lebih personal.
"Dulu bila ada orang pindah rumah, maka warga bergotong royong mengusung rumah kayu dan kenduri bersama, masak bersama. Tradisi itu sudah sulit ditemukan bahkan di kampung-kampung," katanya.
Baginya, warga Aceh kini lebih bergaya metropolis.
"Saya merindukan kehidupan tradisional itu."
Oleh Maria D. Andr
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014