Penilaian itu dikemukakan konsultan keamanan teknologi informasi dari Global Inter Media Yogyakarta, Joshua Sinambela, sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus ini di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Rabu.
"Terdakwa tidak dikatakan mentransmisikan dan tidak mendistribusikan jika status hanya diketik saja dan tidak jadi diposting (diunggah)," kata Joshua.
Path, yang digunakan Florence untuk mengunggah status, menurut Joshua, dapat dikategorikan sebagai media sosial, bukan media privat.
Sementara setiap orang yang mengunggah kalimatnya di media sosial, kata dia, secara langsung dapat dikategorikan mentransmisikan sekaligus mendistribusikan informasi ke publik karena memungkinkan dibaca banyak orang kendati terbatas.
"Beda halnya kalau hanya mengirim pesan singkat melalui email secara khusus ke teman, maka tidak bisa dikatakan mendistribusikan," kata dia.
Selain "Path", Joshua menyebutkan beberapa media lain seperti "Facebook", "Twitter", dan "Instagram" dapat dikategorikan media sosial, sedangkan Black Berry Massanger (BBM) dan WhatsApp (WA) termasuk media privat.
Sementara itu, di dalam konteks penggunaan teknologi informasi, menurut dia, tidak ada ketentuan khusus yang mewajibkan seseorang harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik status untuk meng-capture atau mengunggah ulang melalui media sosial yang lain.
"Sehingga teman dari teman terdakwa, bahkan orang lain di media sosial lainnya juga memungkinkan bisa membaca status itu," kata dia.
Meski demikian, sidang yang berlangsung selama 2 jam tersebut sama sekali belum mengkaitkan secara langsung kasus tersebut dengan pasal pencemaran nama baik.
"Agenda sidang kali ini memang bertujuan untuk memastikan definisi "mentransmisikan dan mendistribusikan" seperti yang tercantum dalam pasal 27 Undang-Undang (UU) ITE," kata Jaksa Penuntut Umum R. Rahayu seusai sidang tersebut.
Dalam sidang lanjutan Kamis mendatang (8/1/2015), majelis hakim masih akan meminta keterangan saksi ahli berikutnya.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014