Jakarta (ANTARA News) - "Hot money" (uang panas) di Indonesia hingga saat ini belum menjadi ancaman, namun perlu terus diwaspadai karena kemungkinan dana tersebut lari ke luar Indonesia selalu ada setiap saat, kata ekonom Fauzi Ichsan, dalam seminar Membangun Stabilitas Keuangan melalui Monitoring Sistem Keuangan.
"Ada kekhawatiran jika Bank Indononesia (BI) terus menurunkan suku bunganya dan tidak diimbangi dengan iklim investasi yang memandai akan memicu 'capital flight' (pelarian modal ke luar)," kata ekonom dari Standard Chartered itu, di Jakarta, Kamis.
Ekonom yang menjabat sebagai vice president Head of Goverment Relation itu mengatakan 'hot money' yang merupakan dana jangka pendek per September 2006 telah mencapai 26,3 miliar dolar AS dan cadangan devisa 42,3 miliar dolar AS. 'Hot money' ini mengalami kenaikan dibanding pada 2005 senilai 16,6 miliar dolar AS dan cadangan devisa 34,7 miliar dolar AS.
Perkembangan ini harus diantipasi dengan regulasi (peraturan) yang dapat memicu iklim ekonomi di Indonesia, sehingga modal yang masuk tidak hanya modal jangka pendek, melainkan jangka panjang.
Ichsan mengungkapkan 'hot money' tersebut kebanyakan ditempatkan pada saham di bursa, sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini mengalami kenaikan yang cukup dratis.
Dengan kondisi ini, dia berharap BI dan pemerintah mengupayakan agar investor asing ini menempatkan modalnya pada investasi jangka panjang.
"Jika tidak diantipasi dan `hot money` terus berkembang melebihi cadangan devisa, seperti yang terjadi pada krisis 1997-1998, dimana telah terjadi gejolak yang menimbulkan pelarian modal dan cadangan devisa tidak bisa menutupi 'capital flight'," jelasnya.
Untuk itu, Ichsan berharap BI tidak terlalu agresif dalam menurunkan suku bunganya sehingga ekses likuiditas yang tidak terlalu besar dapat dihindari. Selain itu, pemerintah perlu memperbaiki sistem investasi yang dapat segera menggerkan sektor riil.
Stabilitas Keuangan
Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Muliaman D. Hadad, mengemukakan perlu dibuat mekanisme guna mendeteksi jika terjadi tidak kestabilan keuangan.
"Ekonomi kita itu kecil dan terbuka, sehingga sangat rentan terhadap berbagai gejolak yang menyebabkan ketidakstabilan keuangan kita, sehingga memicu krisis keuangan," katanya usai seminar yang sama.
Menurut dia, perkembangan 'hedge fund' yang meningkat secara dratis dan arus modal internasional yang semakin bebas keluar masuk pasar keuangan suatu negara dalam hitungan waktu makin sulit diduga.
Perkembangan tersebut menjadi rentan menimbulkan kejutan maupun risiko sistematik yang pada akhirnya menimbulkan krisis keuangan.
Untuk itu perlu regulasi yang dapat mendeteksi jika terjadi ketidakstabilan keuangan. (*)
Copyright © ANTARA 2006