Bangui, Republik Afrika Tengah (ANTARA News) - Setidaknya 20 orang tewas dan puluhan luka-luka dalam bentrokan antar-etnis terbaru di Republik Afrika Tengah, kata polisi, Senin.
Seorang pejabat yang berbicara kepada AFP tanpa menyebut nama mengatakan kekerasan itu pecah Jumat ketika milisi anti-Balaka terutama Kristen meluncurkan serangan terhadap pemberontak dari mantan aliansi Seleka sebagian besar Muslim dan Peul di wilayah tengah Bambari.
"Sedikitnya 12 orang tewas dalam serangan itu," kata pejabat itu.
Dia mengatakan pemberontak mantan Seleka dan penggembala bersenjata Peul - juga dikenal sebagai Fulani - melancarkan serangan pembalasan pada Sabtu di desa Kouango, 90 kilometer (55 mil) di selatan, menewaskan sedikitnya delapan orang, melukai puluhan dan beberapa rumah dibakar.
"Banyak warga melarikan diri ke semak-semak dan lain-lain mencari perlindungan di ibu kota Bangui di mana ratusan orang dari kedua daerah telah tiba beberapa bulan terakhir ini," kata pejabat itu.
Bambari, yang terletak di dekat garis pemisah yang memisahkan selatan Kristen dari wilayah utara yang dikuasai oleh bekas pemberontak Seleka, telah menjadi tempat bentrokan sengit yang menewaskan lebih dari 100 orang dan sedikitnya 200 terluka sejak Juni.
Pekan lalu 28 orang tewas dalam bentrokan sektarian di Mbres, hanya beberapa hari setelah upacara rekonsiliasi yang diselenggarakan oleh misi penjaga perdamaian PBB di sana.
Bekas koloni Prancis yang kaya berlian tetapi telah banyak menderita kudeta dan serangan ketidakstabilan sejak kemerdekaan pada tahun 1960, tetapi sejak penggulingan rezim Francois Bozize 23 Maret 2013 oleh koalisi pemberontak Seleka memicu pergolakan terburuk sampai saat ini.
Serangan tanpa henti oleh gerilyawan Muslim terutama pada mayoritas populasi Kristen mendorong pembentukan kelompok-kelompok sempalan, yang pada gilirannya mulai menuntut balas dendam terhadap warga sipil Muslim, mendorong mereka keluar dari sebagian besar negara.
Beberapa ribu orang tewas dalam berbagai serangan, yang membuat wilayah dengan populasi 4,8 juta itu menjadi krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. (AK)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014