Kabar duka tiba di Indonesia Minggu pagi, saat penulis dan sejarawan JJ Rizal mengunggah kabar kematian salah seorang sastrawan besar Indonesia, Sitor Situmorang.
Sastrawan yang lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 2 Oktober 1923 itu meninggal dunia pada usia 91 tahun di rumahnya di Apeldoom, negeri Belanda.
"Saya memang sangat dekat dengan Sitor dan saya merasa sangat sedih. Dia adalah sastrawan besar Indonesia dari angkatan 45 (1945) yang terakhir," kata Rizal dalam wawancara melalui telepon.
Rizal menyebut Sitor Situmorang sebagai sosok yang sangat penting dalam kebudayaan Indonesia.
Sitor tidak pernah membedakan Barat dan Timur seperti sastrawan angkatan 45 yang lain, tetapi justru membuktikan melalui karyanya bahwa Barat dan Timur tidak berjarak.
Sebagai generasi yang lahir pada masa revolusi, Sitor adalah orang yang sadar betul bahwa sastra tidak akan bisa dipisahkan dari politik dan persoalan bangsa.
"Ia tidak mengalami keterbelahan," kata Rizal.
Rizal, yang meneliti karya-karya Sitor dan sudah membukukan enam judul buku hasil penelitiannya, mengatakan, bila berbicara mengenai kebudayaan Indonesia, tidak mungkin bisa mengabaikan nama Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer.
Ia menyesalkan politik pemerintahan di Indonesia, khususnya ketika masa Orde Baru, yang telah dengan sengaja meniadakan nama beberapa sastrawan Indonesia seperti Sitor Situmorang karena dianggap berhaluan kiri.
Sitor pernah menjadi wartawan di berbagai harian di Sumatra dan pegawai di Jawatan Kebudayaan Departemen P & K serta menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili kalangan seniman.
Sastrawan yang dikenal banyak penyuka puisi lewat "Malam Lebaran" itu pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi tahanan politik sejak 1967 sampai 1974.
Orang boleh suka atau tidak suka tetapi Sitor adalah tonggak sastra dan politik Indonesia, seperti "batu tapal" yang bisa menjadi penanda perjalanan sastra dan politik Indonesia, kata sastrawan Martin Aleida.
Martin melihat bahwa dalam berkarya Sitor sangat terlihat setia, tulus membela bangsa dan Tanah Air.
"Bagi Sitor negeri itu ada tiga, Tanah Batak tempat ia dilahirkan, Indonesia sebagai negaranya dan Belanda yang menjadi kampung halaman kedua pada masa tuanya," ujar Martin.
Karya-karya Sitor, menurut dia, mudah dipahami, memakai pilihan kata yang kuat dan bukan hanya puitik tetapi juga musikal.
"Indah, misalnya ketika ia menulis tentang Danau Toba."
Dalam bukunya berjudul "Toba Na sae" Sitor mengkritik penulis-penulis Barat yang sering mengatakan bahwa Orang Batak suka perang hanya dengan melihat di halaman rumah Batak sering ada tumpukan batu.
"Sitor adalah pengagum Bung Karno yang setia, baik ketika masa dia berjaya maupun pada saat runtuh. Sitor juga romantis seperti Soekarno," kata Martin.
Dia mengaku pernah mempunyai pengalaman menarik bersama Sitor saat menjadi moderator dalam suatu peluncuran buku di Jakarta.
Ketika itu Sitor menjadi salah seorang pembahas dan sempat "ngambek", berdiri dan hendak meninggalkan ruangan, karena ada tamu yang ngobrol terus.
"Saya berhasil membujuk dan menenangkan Sitor, dan akhirnya dia beruntung karena Megawati yang memberi kata sambutan pada acara itu kemudian memberinya kenang-kenangan berharga," kata Martin dengan tawa, mengenang kejadian tersebut.
Kelincahan Sitor
Rizal, yang masih menyelesaikan dua buku lain mengenai Sitor, mengagumi sosok Sitor sebagai budayawan yang menurutnya sangat lincah berberak di panggung seni drama, film, menulis puisi dan cerpen juga menulis banyak esai dan kritik seni sejak tahun 1970-an ketika orang lain belum banyak melakukannya.
"Dia sangat produktif dan yang penting lagi, karyanya berkualitas, mempunyai kekayaan referensi, penguasaan lansekap dan terutama mengenai pemakaian bahasa Indonesia."
Menurut dia, Sitor sangat mampu memilih kata-kata dalam bahasa Indonesia secara tepat untuk mengungkapkan perasaan yang paling dalam.
"Kita sudah lama durhaka dan berhutang pada Sitor. Sayang sekali negara kita kurang memperhatikan kebudayaan," kata Rizal yang sudah sejak lama gigih memperjuangkan nama Sitor bisa kembali masuk dalam catatan sejarah Indonesia.
Ia mengatakan, Sitor, putra seorang panglima perang asal Batak pada masa kolonial itu, meninggalkan warisan budaya yang sangat kaya bagi Indonesia.
Karya Sitor berjudul "Pasar Senen" termasuk salah satu yang disukai Rizal, orang Betawi yang merasa dihargai oleh pendatang dari Batak yang menulis keindahan Pasar Senen pada waktu lalu.
"Banyak karyanya yang saya sukai dengan catatan-catatan alasannya sehingga sulit untuk menentukan satu atau dua judul yang paling saya sukai," kata Rizal, yang sedang mencari cara menerbitkan kumpulan esai Sitor Situmorang setebal 2.000 halaman.
Kepergian Sitor, yang mendapat penghargaan sastra nasional tahun 1955 untuk kumpulan cerpen "Salju Di Paris" dan hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1976 untuk kumpulan sajak Peta Perjalanan, juga membuat budayawan M. Sobary berduka.
"Penyair besar telah pergi dan tidak kembali. Kita ingat puisinya yang bikin gempar, 'Malam Lebaran, Bulan di atas Kuburan'. Penyair Toba yang perkasa," katanya ketika mendengar kabar duka kematiannya.
Oleh Maria D. Andriana
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014