Indonesia harus memiliki industri gula terintegrasi

Bangkok (ANTARA News) - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyiapkan strategi jangka menengah dan panjang penghentian impor gula untuk mendukung tumbuhnya investasi dan industri gula terintegrasi di dalam negeri.

"Seluruh arah kebijakan dan perangkat yang ada di Kemendag akan diarahkan untuk tidak hanya menjaga pasokan dan menstabilkan harga gula, namun juga mendorong investasi dan tumbuhnya industri gula di dalam negeri," kata Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel di sela-sela kunjungan kerja ke Bangkok, Thailand, Sabtu.

Ia mengaku saat ini belum memungkinkan bagi Indonesia menghentikan sama sekali impor gula dari luar negeri, karena produksi dalam negeri masih di bawah kebutuhan gula secara nasional.

Berdasarkan data Kemendag, total kebutuhan gula secara nasional mencapai 5,9 juta ton, yang terdiri dari konsumsi untuk rumah tangga sebesar 2,7 juta ton, kebutuhan gula mentah untuk industri makanan dan minuman sebesar 2,87 juta ton, kebutuhan industri MSG (bahan baku) sebesar 282 ribu ton, dan kebutuhan gula rafinasi sebanyak 50 ribu ton.

Sedangkan produksi gula nasional pada 2014 hanya mencapai sekitar 2,5 juta ton yang diproduksi oleh 52 pabrik gula milik BUMN dan 10 pabrik gula swasta. Hal itu menyebabkan Indonesia kekurangan pasokan gula sebanyak 3,4 juta ton.

"Jadi saat ini kebijakan (pembatasan/pengaturan) impor pun kami arahkan untuk mempersiapkan tumbuhnya industri gula nasional untuk mendukung kedaulatan pangan," kata Rachmat.

Ia mencontohkan salah satu kebijakan yang akan dibuat adalah pengaturan impor gula hanya kepada importir tertentu atau importir produsen yang tengah mempersiapkan pembangunan industri gula terintegrasi di Indonesia.

"Perusahaan tersebut bisa saja mendapat izin impor gula 1-2 tahun, sampai industri yang tengah dibangunnya siap," kata Rachmat.

Mantan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan itu, terkesan pada pengembangan industri gula di Thailand yang 80 persen diarahkan untuk ekspor dan hanya 20 persen untuk kebutuhan domestik.

Bahkan sejumlah industri gula di Negeri Gajah Putih, termasuk milik KSL Group, membangun industri gula terintegrasi yang mampu menghasilkan produk turunan tebu sangat beragam, mulai dari gula, etanol, pupuk (bio-fertilizer), hingga pembangkit listrik.

"Ke depan menghentikan impor gula dan menjaga stabilitas pasokan serta harga di dalam negeri, Indonesia harus memiliki industri gula terintegrasi," ujar Rachmat.

Untuk itu, ia akan bekerja sama dengan Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menteri Pertanian A Amran Sulaiman untuk membuat peta jalan membangun industri gula terintegrasi guna mewujudkan kedaulatan pangan, khususnya gula.

"Kebijakan Kemendag akan diarahkan untuk terwujudnya hal itu," kata Rachmat.

Salah satu kendala kurangnya pasokan gula nasional, tidak hanya pada pabrik gula yang sudah tua sehingga produktivitasnya rendah, namun juga, kata dia, kurangnya lahan untuk penanaman tebu.

"Untuk mencapai kedaulatan pangan, khususnya, di gula, Indonesia paling sedikit membutuhkan 700 ribu hektare lahan tebu," katanya.

Sampai saat ini, berdasarkan data yang dimiliki Kemendag, lahan tebu di dalam negeri sekitar 460 ribu hektare.

"Kini pun kebijakan impor gula, hanya boleh gula mentah (raw sugar), sehingga industri gula putih (konsumsi rumah tangga) dan rafinasi (industri makanan dan minuman) tumbuh di dalam negeri," kata dia.

Namun dalam jangka menengah dan panjang, lanjut Rachmat, kebijakan impor gula secara bertahap akan dikurangi agar bisa dihentikan sama sekali setelah industri gula terintegrasi di Indonesia banyak terbentuk untuk memenuhi kebutuhan nasional yang beragam, baik untuk gula konsumsi rumah tangga maupun industri lainnya.

Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014