Jakarta (ANTARA News) - "Mereka adalah wajah bangsa kita seutuhnya di Kanada," kata Duta Besar RI untuk Kanada Teuku Faizasyah mengenang pertemuannya dengan warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di Kanada pada awal Desember 2014.
Buat Faizasyah, yang menempati posnya di Ottawa sejak November, capaian dan peran warga negara Indonesia yang bekerja dan belajar di negara yang ada di kawasan Amerika Utara itu membanggakan.
Ia menyatakan pertemuannya dengan warga sebangsa saat berkunjung ke Montreal, kota berjarak 198,2 kilometer dari ibu kota Kanada, Ottawa, melengkapi gambaran bahwa warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri tak hanya mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, namun juga tetap membawa karakter khas bangsa.
"Cerminan Indonesia yang multi etnik dengan beragam pemeluk agama, wajah-wajah anak bangsa yang optimis, cinta Tanah Air namun di sisi lain mereka tetap menyatu dengan negara tempat mereka menggantungkan hidup saat ini," katanya.
Kebiasaan hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan etnis dan agama di Tanah Air, juga terbawa hingga ke luar negeri.
Suami dari Andis Faizasyah itu mengatakan keberagaman jelas tercermin dalam pertemuannya dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di perantauan.
"Beragam cerita dan kisah hidup di perantauan yang disampaikan wakil-wakil kelompok masyarakat Indonesia di Montreal, mulai dari mereka yang aktif di Asosiasi Masyarakat Indonesia di Provinsi Quebec, kelompok pengajuan syiar Montreal, Komunitas Katolik Indonesia di Montreal hingga Persatuan Mahasiswa Indonesia di Kanada cabang Monteral-Permika," katanya.
Dari pertemuannya dengan 102 orang Indonesia yang tinggal di Kanada, termasuk pasangan kawin campur, mahasiswa dan anak-anak Indonesia, mantan staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bidang hubungan internasional itu mencatat sejumlah keberhasilan warga Indonesia di Kanada.
"Terdapat beberapa tenaga ahli Indonesia yang berkiprah di industri penerbangan Kanada, tepatnya di Bombardier. Mereka adalah pakar-pakar kedirgantaraan asal Industri Pesawat Terbang Nurtanio, (kini PT Dirgantara Indonesia) yang hijrah ke Kanada," katanya.
Ia menyebut Sigit Afrianto dan Andreas Hartono sebagai dua orang Indonesia yang turut berperan dalam pengembangan pesawat-pesawat produksi Bombardier, pabrik pesawat dan kereta api yang berpusat di Montreal, Kanada, yang menurut laman resmi perusahaan membukukan pendapatan 18,2 miliar dolar AS pada tahun fiskal yang berakhir 31 Desember 2013.
Anderas Hartono adalah pilot penguji pesawat jenis C sementara Sigit Afrianto merupakan salah satu perancang interior pesawat produksi Bombardier seri C. "Yang terbilang top-notch (teratas)," kata Faizasyah.
Kenyataan itu memberikan harapan bahwa PT Dirgantara Indonesia memiliki tenaga ahli yang mumpuni sehingga akan menjadi sebuah industri penerbangan yang berskala internasional, katanya.
Para Peneliti
Di Kanada, menurut Faizasyah, nama Indonesia juga menjadi harum karena Agus Sasmito, seorang profesor yang mengajar bidang studi pertambangan dan mineral di McGill University, universitas terkemuka Kanada yang berdiri tahun 1821 dan berada di urutan 21 daftar universitas terbaik dunia.
Ia mengatakan, sebagai profesor di universitas kelas dunia itu Profesor Sasmito punya keleluasaan untuk merekrut dan memberi beasiswa ke calon mahasiswa S3 dengan kajian di seputar pertambangan, dan teknologi pemrosesan mineral.
Walau sudah merambah dunia sains internasional, Duta Besar Faizasyah mengatakan, Profesor Sasmito tetap memiliki nasionalisme tinggi.
"Sudah banyak pihak yang melamar untuk menjadi tim di lab-nya, mulai dari warga negara Tiongkok, India, Brasil namun Prof Sasmito ingin mendahulukan mahasiswa dari Indonesia," katanya.
"Lulusan S3 anak bangsa bimbingan Prof.Sasmita dari McGill University ini nantinya akan dapat menjadi tenaga handal Indonesia dalam industri pengolahan hasil-hasil tambang kita," kata Faizasyah.
Tak hanya mereka yang bekerja di Kanada yang tetap ingin memberikan kontribusinya bagi Indonesia, para mahasiswa yang tengah menempuh kuliah di negara tersebut juga ingin memberikan sumbangan.
Dalam pertemuan di Montreal, Duta Besar Faizasyah bertemu dengan mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Permika dan menginisiasi program diaspora e-class, yaitu program kelas percakapan bahasa Inggris daring dengan para siswa di Indonesia.
Percakapan daring dilakukan menggunakan Skype dan Permika Kanada telah bekerja sama dengan institusi Sekolah Akselerasi Unggulan SMART Ekselensia Bogor, SMART Sukabumi dan Give Light Foundation Aceh dalam program itu.
Populasi warga Indonesia di Kanada, menurut Faizasyah, per November 2014 tercatat sekitar 10.000 jiwa yang tersebar di Ottawa, Toronto dan Vancouver. Dari seluruh warga Indonesia di negara itu, 1.755 orang di antaranya merupakan mahasiswa.
Mereka ingin memberikan sumbangsih bagi bangsa dengan menggali dan menerapkan ilmu serta tetap menjaga identitas bangsa dan nasionalisme.
Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014