Pelanggaran HAM terjadi karena ulah aparatur negara, selain juga terjadi antarmasyarakat."

Bandarlampung (ANTARA News) - Puluhan aktivis lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, akademisi, kalangan profesional, perwakilan ormas dan kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam Forum Demokrasi Lampung, menandatangani petisi mendesak segerakan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).

Petisi dari Forum Demokrasi Lampung itu, ditandatangani usai pelaksanaan Sarasehan Demokrasi bertema "Darurat, Segerakan Pemenuhan Hak Asasi Manusia!" yang digelar di Wisma Universitas Lampung di Bandarlampung, Rabu siang, bersamaan peringatan Hari HAM Internasional 10 Desember 2014.

Menurut Koordinator Forum Demokrasi Lampung Nopi Juansyah, petisi ini menjadi keharusan bagi negara dan seluruh elemen masyarakat dapat segera melaksanakan pemenuhan HAM dan tidak lagi membiarkan pelanggaran HAM terjadi di tengah masyarakat, termasuk di daerah Lampung.

"Ini adalah bagian dari komitmen gerakan sosial Forum Demokrasi Lampung menyambut Hari HAM Internasional, dan selanjutnya akan terus mendorong implementasi penghormatan dan pemenuhan HAM dapat berjalan dengan baik," ujar aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung itu pula.

Sarasehan yang digelar Forum Demokrasi Lampung ini, antara lain bertujuan untuk menyosialisasikan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia pada seluruh aktivitas masyarakat sipil di daerah ini, kata Roseshinta Purba, salah satu panitia penyelenggaranya itu pula.

Dalam sarasehan, tampil tiga narasumber yaitu Bejoe Dewangga Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Selly Fitriani Direktur Eksekutif LSM Damar Lampung, dan Lintong Simbolon dari Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung, dengan moderator Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung Yoso Muliawan.

Menurut Bejoe Dewangga, hingga saat ini masih terjadi kondisi carut-marut dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia dan daerah Lampung yang bermuara pada kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan.

"Hak ekonomi masyarakat diabaikan, dan justru oleh kewenangan yang dimiliki negara diberikan kepada pemilik modal yang menekan masyarakat," ujarnya lagi.

Apalagi, kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam menjadi makin eksploitatif biasanya muncul usai pilkada, sebagai konsekuensi pelunasan utang politik untuk menutupi cost politik yang memang mahal, katanya pula.

Aktivis KBH Lampung Lintong Simbolon mengingatkan penegakan hukum dan HAM itu bertujuan untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum, dan tidak terjadi aksi main hakim sendiri.

Namun, saat ini justru terjadi kebijakan yang dibuat menjadi tidak adil sejak dirancang, akibat komitmen penguasa yang minimal, maupun profesionalitas penegak hukum, moralitas dan integritasnya yang masih rendah.

Karena itu, dia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan wawasan dan kesadaran hukum serta terus melakukan pengawasan dan kontrol kepada penguasa maupun aparatur penegak hukum agar menjalankan fungsinya dengan baik.

"Kondisi darurat di Indonesia untuk segerakan pemenuhan HAM, hak dasar sebagai manusia, hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan dan hak dasar lainnya, agar tidak lagi sampai dihilangkan oleh negara atau pihak manapun," ujarnya lagi.

Dia mengingatkan kenyataan tindakan pelanggaran HAM yang justru masih terjadi dan paling banyak dilakukan aparat kepolisian yang justru menjadi representasi negara di dalamnya.

"Pelanggaran HAM terjadi karena ulah aparatur negara, selain juga terjadi antarmasyarakat," katanya pula.

Sedangkan Selly Fitriani dari LSM Damar Lampung mengingatkan masih banyak terjadi kasus pelanggaran hukum dan HAM di Indonesia, termasuk di Lampung, dengan korban kaum peremuan dan anak-anak.

"Sepertinya tidak ada tempat yang sepenuhnya aman bagi kaum perempuan dan anak-anak di negeri ini," ujarnya pula.

Dia mengemukakan kecenderungan kasus kekerasan terhadap perempuan yang makin meningkat, termasuk kasus perkosaan terhadap anak yang semakin tinggi terjadi di Lampung.

Begitupula praktik pelanggaran terhadap hak dasar perempuan dan menganggap perempuan semata sebagai objek seks, menurut Selly, merupakan kondisi memprihatinkan terjadi di tengah masyarakat.

Ia menilai, pemenuhan dan perlindungan hak dasar perempuan hanya sebatas tataran formal, kendati Indonesia sudah mengakui dan meratifikasi sejumlah konvensi pengakuan dan perlindungan hak perempuan, tapi cenderung formal politis semata.

"Kondisi perempuan dan pendidikan di Lampung, kenyataannya masih banyak buta aksara. Masih banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang membahayakan mereka. Angka kematian ibu juga masih tinggi dan hak kesehatan reproduksi kaum perempuan belum terpenuhi dengan baik," ujarnya lagi.

Semua itu, menurut dia, menunjukkan inkonsistensi antara keberadaan undang-undang, konvensi dan aturan perundangan formal yang bersifat politis dengan implementasi kosong semata.

"Potret penegakan hukum dan HAM khususnya bagi kaum perempuan dan anak masih buram, sehingga semua pihak harus mendorong pemenuhan hak dasar perempuan dan anak, serta hak dasar manusia di Indonesia ini menjadi lebih baik," ujar Selly Fitriani lagi.

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014