Kita harus menghargai suatu tempat karena suatu alasan tertentu. Tidak cukup bilang 'dia indah, jangan usik tempat itu'...
Rens Lewerissa adalah mantan nelayan pemburu ikan hiu di perairan Raja Ampat. Berbekal umpan ikan laut, dia memburu predator teratas di ekosistem laut tersebut tanpa tahu dampaknya pada kehidupan biota laut dan nelayan.
"Kadang pakai umpan lumba-lumba," kata Rens. "Kami hanya ambil siripnya dan buang kembali ke laut. Itu kadang masih hidup ikannya."
Narasi dari Rens itu diperkuat dengan potongan-potongan video tentang perburuan hiu dan gambar close-up seekor hiu yang kehilangan sirip di atas karang dalam film dokumenter "Guardians of Raja Ampat" (Para Penjaga Raja Ampat) karya Shawn Heinrichs dan John Weller.
Saat mengunjungi Raja Ampat untuk pertama kali pada 2006, Shawn langsung jatuh cinta dengan keindahan alam dan keanekaragaman biota wilayah konservasi di ujung barat laut semenanjung kepala burung pulau Papua tersebut.
"Ketika saya pertama kali datang ke sana, saya melihat hal yang lebih menakjubkan dari apa yang tadinya saya bayangkan," kata Shawn Heinrichs kepada Antara setelah pemutaran perdana "Guardians of Raja Ampat" di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Jakarta, Selasa petang (9/12).
Namun Heinrichs juga menyadari keindahan "sepenggal surga yang jatuh di Bumi Papua" itu tidak lepas dari ancaman besar seperti penangkapan ikan secara berlebihan dan penggunaan bom ikan.
Salah satu hal yang paling mencemaskan bagi Heinrichs adalah perburuan hiu. "Ketika saya melihat nelayan memotong sirip dari hiu yang hidup, dan melemparkan tubuhnya kembali ke laut, itu adalah suatu penghinaan bagi tempat yang sangat istimewa ini."
"Bagaimana seseorang bisa merenggut sesuatu yang sangat sempurna dan cantik itu dan melakukan sesuatu yang tidak berguna dan kejam," kata Heinrichs, yang pada 2013 meraih Emmy Awards untuk film dokumenter berjudul Untamed Americas itu.
"Itu menjadi semacam panggilan jiwa bagi saya, bahwa bahkan tempat-tempat yang sangat istimewa berada di bawah ancaman yang besar dan kita harus melindunginya," katanya.
Sebagai fotografer dan pembuat film, Shawn Heinrichs telah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia. Dia juga mendirikan Blue Sphere Media, rumah produksi khusus untuk film-film bawah air, petualangan dan konservasi.
Hal yang mendorong dia membuat film dokumentasi, terutama tentang laut, adalah laju perusakan seperti eksploitasi hasil laut yang berlebihan dan merusak yang sangat mencederai kehidupan di laut.
"Dan sejak itu saya sadar jika kita bisa menyelamatkan tempat paling mengagumkan yang ada di Bumi, maka kita bisa menyelamatkan apa pun," kata dia.
Tempat terakhir
Heinrichs sedang mencari satu tempat terakhir di Bumi ini yang masih cantik dan utuh, hingga pada 2006 dia tiba di Raja Ampat.
Ia menyebut perairan Raja Ampat bagaikan laut perawan.
"Ketika kau membenamkan kepala ke dalam air dan kau berenang, ikan-ikan sangat banyak hingga kau harus menyibak mereka agar bisa melaju ke depan."
Sinematografer yang terlibat dalam film dokumenter Mission Blue bersama James Cameron itu terhipnotis keindahan alam Raja Ampat.
Bukan hanya lautnya, namun "warna sungai di sana sangat hidup, bagaikan labirin cahaya, warna dan tekstur yang psikedelik."
"Keanekaragaman spesiesnya, mulai dari kuda laut pygmi yang sangat kecil hingga pari manta dan hiu, melebihi apa yang bisa dipahami oleh mata ini. Keindahannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata," kata dia.
Ruang pemutaran film di Atamerica waktu itu penuh oleh mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia dan sejumlah tamu undangan.
Dan tidak ada kata-kata yang keluar dari para penonton selain "whoaa" ketika disuguhi gambar pari manta bermanuver dalam birunya laut Raja Ampat saat penayangan film "Guardians of Raja Ampat".
Heinrichs menyihir para penonton dengan video kehidupan bawah laut dan panorama gugusan pulau-pulau karst yang ikonik di Wayag dan sesekali video time-lapse dengan sudut pengambilan gambar apik.
Penonton akan terhipnotis lebih dalam lagi ketika menyimak pengalaman dan kesaksian masyarakat yang terlibat dalam upaya pelestarian wilayah Raja Ampat seperti kisah Rens Lewerissa dan para nelayan lain.
Nomensen Mambraku, salah satu nelayan setempat, mengungkapkan dia sudah mengubah pola memancingnya setelah pemerintah setempat menetapkan zona-zona laut untuk menjaga ekosistem Raja Ampat. Ia kini paham bahwa ia tidak bisa memancing di sembarang tempat.
"Kami tidak memancing di Lalosi, dia seperti bank yang menampung semua ikan, supaya ikan bertambah banyak karena dia suplai ikan-ikan besar dan kecil. Mereka keluar dari situ."
Dalam mendokumentasikan upaya-upaya masyarakat setempat menjaga Raja Ampat, Shawn menggandeng lembaga nirlaba Conservation International Indonesia, dan didukung oleh USAID serta Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Sejak Oktober 2014, Conservation International Indonesia telah melakukan kegiatan konservasi di Kepulauan Raja Ampat. Selama 2,5 tahun pertamanya di sana, lembaga itu menemukan bahwa 75 persen spesies karang dunia ada di perairan Raja Ampat, demikian pula sejumlah spesies endemik seperti spesies hiu berjalan.
"Pertanyaan pertama yang muncul saat itu adalah ini sumber daya yang hebat, tetapi berapa lama ini akan bertahan? Bagaimana dia bisa menghidupi masyarakat dan pemerintah daerahnya?" kata Country Director Conservation International Indonesia Ketut Putra.
Wilayah yang sangat kaya itu memberi kehidupan, makanan, dan tempat tinggal bagi sekitar 40.000 penduduk yang tinggal di 135 desa yang tersebar di area seluas lebih dari empat juta hektare.
Pada 2006, dengan upaya dari pemerintah dan masyarakat setempat berkolaborasi dengan Conservation International dan The Nature Conservancy, Raja Ampat menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang meresmikan kawasan lindung lautnya.
"Kami selalu mengatakan kepada masyarakat bahwa kita makan dan hidup itu dari laut," kata Bupati Raja Ampat Marcus Wenma ketika menghadiri pemutaran film.
Dan adalah suatu kewajiban bagi seluruh masyarakat untuk menjaga laut dengan seluruh potensi yang ada bagi keberlangsungan hidup dan kelestarian wilayah Raja Ampat di masa depan, katanya.
Salah satu upaya yang sedang dilakukan pemerintah setempat adalah membangun suaka bagi spesies hiu dan pari manta di Raja Ampat, yang menjadi model yang mendapatkan sorotan dunia.
Pada 2010, Pemerintah Raja Ampat menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang melarang segala perburuan terhadap spesies hiu, pari, dugong, dan penyu di wilayahnya.
"Itu yang perlu dibesarkan di seluruh Indonesia," kata Ketut.
Dalam 10 tahun terakhir, telah tercipta kurang lebih 3,6 juta hektare wilayah lindung laut di Raja Ampat. Dan pada 2020, wilayah lindung laut di Raja Ampat ditargetkan mencapai 20 juta hektare.
Pembangunan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat menjadi fokus utama karena kapasitas mereka mengelola sumber daya laut yang hebat dan sensitif di wilayah tersebut menjadi emas, aset kapital yang akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah Raja Ampat, kata Ketut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan pun telah menetapkan Raja Ampat sebagai satu dari tiga prioritas pembangunan kelautan berbasis konservasi di Indonesia yang menjadi semacan etalase nasional.
"Apa yang sedang dilakukan di Raja Ampat akan sangat komprehensif jika mempertimbangkan antara kepentingan lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan masyarakat," kata Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau Kecil Sudirman Saad.
"Saya berharap film ini juga mencerminkan ketiga variable tersebut."
Konservasi dan pariwisata menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan di Raja Ampat. Wilayah itu mesti dikelola dengan baik supaya tetap lestari.
"Kita harus menghargai suatu tempat karena suatu alasan tertentu. Tidak cukup bilang 'dia indah, jangan usik tempat itu'. Apa yang penting untuk Raja Ampat menurut saya adalah kita jangan berlebihan menumbuhkan pariwisata di sana," kata Heinrichs.
Oleh Aditya E.S Wicaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014