Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) dan United Nation Development Programme (UNDP) mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) yang memparalelkan sumber energi angin dengan yang lain.
"Kombinasi paling tepat untuk Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida sebenarnya bisa tenaga bayu (angin-red) atau surya dengan diesel. Tapi dieselnya dari solar nabati ya," kata Kepala BPPT Unggul Priyanto disela-sela acara B2TE-BPPT Energy Partners Gathering 2014 di BPPT, Jakarta, Kamis.
Kendala pengembangan energi baru terbarukan yang bersumber dari bayu dan surya, menurut dia, masalah kontinuitas suplai. Suplai energi surya per hari maksimal hanya enam jam, sedangkan angin tentu tidak selamanya berhembus.
Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk membangun sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau surya sehingga benar-benar dapat memastikan rata-rata per kwh yang dapat dihasilkan. Meski demikian, ia meyakini kombinasi energi angin atau bayu dengan solar dari produk nabati merupakan yang paling tepat untuk mendukung kemandirian energi.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Teknologi Energi yang juga sebagai Nasional Project Director WhyPgen Andhika Prastawa mengatakan pihaknya melalui program nasional WhyPgen justru sedang mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) skala besar dan Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) berbasis sumber energi angin yang diparalel (hibrida) dengan sumber energi lainnya baik yang off-grid maupun yang on-grid.
Kegiatan tersebut, menurut dia, diharapkan dapat menurunkan emisi Karbondioksida (CO2) sebesar 17.071 MT per tahun dari sektor kelistrikan melalui pemasangan 9,4 MW WHyPGen.
Guna menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terbukanya pasar industri energi bayu di Indonesia, telah diidentifikasi 21 lokasi potensial energi angin yang tersebar di 17 provinsi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat beberapa lokasi yang potensial untuk dikembangkan menjadi aplikasi "wind farm" dengan potensi lebih dari 960 MW di sekitar selatan pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTT, dan NTB.
Dan, menurut dia, salah satu yang telah digarap oleh para pengembang adalah di Samas, Yogyakarta sebesar 50 MW.
Untuk dapat mendorong proyek pertama "wind farm" di Indonesia, maka BPPT telah memberikan dukungan teknis dalam rangka proses evaluasi proposal dan negosiasi Power Purchase Agreement (PPA).
Selain itu kerja sama dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) juga dirintis untuk pembangkit yang terletak di Nusa Tenggara Timur dan Banten dalam hal kajian finansialnya.
Advokasi terhadap kebijakan yang mendukung pun terus diusahakan melalui proposal dan diskusi-diskusi mengenai feed in tariff (FiT).
Selain itu, untuk dapat menyiapkan pasar industri pembangkit listrik tenaga angin, BPPT telah berhasil memfasilitasi terbentuknya Asosiasi Energi Angin yang nantinya diharapkan dapat menjadi wadah bagi para pemain di sektor energi angin dan mampu mendorong terciptanya iklim investasi yang kondusif.
Kegiatan B2TE-BPPT Energy Partners Gathering 2014 ini pun, menurut dia, juga dapat menjembatani pertemuan antara para pemangku kepentingan terkait di sektor energi angin melalui "wind industry launch".
Kegiatan tersebut diharapkan dapat menunjukkan potensi energi tenaga angin yang dapat dikembangkan, sekaligus kesiapan dari para investor, calon pengembang, pemerintah, off-taker dan pihak terkait lainnya sehingga dapat mempercepat instrumen-instrumen lain yang dibutuhkan dalam menyongsong era baru pembangkitan dari energi angin.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014