Bogor (ANTARA News) - Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menghadirkan "semangat dan fakta" bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan bermartabat, dalam pertemuannya dengan Persiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush di Istana Bogor, Senin. "Saya kira yang paling prinsip adalah menghadirkan 'spirit' dan fakta bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan bermartabat, dan bukan salah satu negara bagian AS," katanya kepada ANTARA yang menghubungi dari Bogor, Senin pagi. Karena itu, lanjut dia, dalam pembicaraan dengan Bush, Presiden Yudhoyono tidak boleh dalam posisi "inferior" (rasa rendah diri), tetapi sebaliknya mutlak mampu menunjukkan bahwa kedua pemimpin adalah dua mitra sejajar. Menurut dia, Indonesia tidak boleh dalam posisi "inferior", melainkan dua mitra yang sejajar. Bahkan dalam konteks sebagai Presiden Indonesia harus mempunyai kepercayaan diri karena dirinya tidak didemo dimana-mana. Berbeda dengan Bush yang ditentang banyak orang dan bahkan dituding sebagai penjahat perang oleh berbagai kalangan di banyak negara. "Bush itu banyak ditentang banyak orang, sedangkan Presiden Yudhoyono tidak, sehingga ia tidak mempunyai tekanan psikologis seperti Bush, katanya. Terkait dengan isu pendidikan yang menjadi salah satu agenda yang dibawa Presiden Yudhoyono dalam pertemuannya dengan Presiden Bush, Hidayat Nurwahid mengatakan dalam masalah ini, Yudhoyono perlu meminta Pemerintah AS agar tidak mengaitkan bantuan pendidikannya dengan agenda terorismenya. Artinya, jangan ada intervensi AS dalam kurikulum lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, di Indonesia. "Indonesia berdaulat terhadap kebijakan pendidikannya, dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun,"katanya. Bantuan pendidikan AS untuk Indonesia tidak boleh diikuti dengan peluang mereka untuk mengintervensi Indonesia. Disamping itu, Presiden Yudhoyono juga perlu menyinggung masalah Kontrak Karya (KK) antara Indonesia dengan berbagai perusahaan pertambangan AS dengan Bush, karena KK selama ini merugikan kepentingan rakyat Indonesia dan hanya menguntungkan konglomerat AS. Kontrak karya-kontrak karya perlu yang dikoreksi karena tidak memenuhi azas keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia itu adalah PT. Freeport, Blok Cepu dan Lapangan Natuna (ExxonMobil)," katanya menambahkan. Mengenai pertemuan Presiden Yudhoyono dan Bush di Istana Bogor Senin sore hingga malam itu, sejumlah masalah yang masuk dalam agenda Pemerintah RI adalah masalah pendidikan, kesehatan, teknologi, dan kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Millennium Development Goals (MDGs). Kunjungan Bush yang diwarnai dengan gelombang demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat itu antara lain ditandai dengan pemberian bantuan dana sebesar 150 juta dolar AS untuk mendukung apa yang disebut "Indonesia Education Initiative". Kunjungan Bush bersama istri ini merupakan kunjungan keduanya di Indonesia setelah yang pertama di Bali tahun 2003. (*)
Copyright © ANTARA 2006