Jakarta (ANTARA News) - Ada ironi ketika pemerintah gencar mendorong masyarakat berkoperasi, justru berkembang isu banyak koperasi menawarkan investasi bodong.
Isu serupa sebenarnya bukan hal baru mengingat banyak kasus penawaran investasi dari lembaga yang mengatasnamakan diri koperasi selalu saja terjadi.
Boleh jadi ada segelintir koperasi yang memang sengaja dibentuk untuk dipelintirkan tidak sesuai tujuannya, namun faktanya tidak semua koperasi melakukan praktik menyimpang itu.
Beberapa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) terbesar di Indonesia bahkan sempat memprotes sejumlah media yang santer memberitakan tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penerbitan perusahaan investasi tak berizin di mana 14 koperasi ada di antaranya.
KSP-KSP itu sempat mengalami "rush" dan penarikan uang besar-besaran dari para anggotanya lantaran terjadi ketidakpercayaan akibat pemberitaan itu.
Iwan Setiawan, ketua Pengawas Koperasi Sejahtera Bersama Bogor turut kebakaran jengkot tatkala peristiwa itu menghantam koperasinya. "Tidak ada hujan tidak ada petir tiba-tiba ada penarikan dana besar-besaran dalam sehari itu. Kami kaget luar biasa," katanya.
Iwan kemudian merasa perlu meluruskan informasi yang bias itu. Bersama rekannya yang mengalami persoalan serupa yakni Sahala Panggabean yang juga Ketua Koperasi Nasari, ia mengklarifikasi pemberitaan yang merugikan sektor koperasi di Tanah Air.
Melalui Asosiasi Koperasi Simpan Pinjam Indonesia (Askopindo) Iwan dan Sahala yang mewakili dua koperasi dari 14 KSP yang masuk dalam daftar OJK membantah bahwa selama ini koperasi menjalankan bisnis investasi bodong yang liar tanpa seizin OJK.
Sahala Panggabean yang juga Ketua Umum Askopindo mengatakan telah terjadi kesalahmengertian terkait pemberitaan sejumlah media yang memasukkan 14 koperasi sebagai lembaga yang tidak memiliki izin dari OJK untuk menyelenggarakan usaha simpan pinjam.
Menurut dia, hal itu sangat mengganggu kredibilitas perkoperasian sehingga dapat menurunkan kepercayaan anggota serta dapat menimbulkan ekses negatif yang bisa mengakibatkan terganggunya operasional koperasi.
Ia menegaskan masyarakat harus memahami bahwa koperasi bukan perusahaan investasi sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian yang hanya melayani dari dan untuk anggota.
"Sesuai dengan UU Perkoperasian, koperasi dilarang untuk melakukan investasi seperti di pasar saham, pasar uang, asuransi, danareksa, dan lain-lain. Dan itu tidak kami lakukan," kata Sahala.
Koperasi Simpan Pinjam Nasari yang dipimpin Sahala juga dimasukkan dalam daftar 262 perusahan investasi yang tidak memiliki izin OJK.
Iwan Setiawan yang menjabat sebagai Ketua Bidang Usaha di Askopindo mengatakan OJK tidak pernah menyampaikan bahwa koperasi-koperasi seperti KSP Nasari dan Koperasi Sejahtera Bersama telah melakukan investasi bodong.
"OJK hanya menerbitkan daftar Laporan Masyarakat Mengenai Perusahaan yang Kelembagaan dan atau Produk yang ditawarkan Bukan Kewenangan OJK," katanya.
Ia menambahkan koperasi berada di bawah naungan Kementerian Koperasi dan UKM sehingga bukan merupakan lembaga yang diawasi oleh OJK.
Oleh karena itu koperasi tidak perlu mengajukan izin apapun kepada OJK untuk memasarkan simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi kepada anggota maupun calon anggotanya.
Pernyataan itu diamini Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Choirul Djamhari yang mengatakan bahwa koperasi berada di bawah kewenangan kementeriannya untuk urusan pembinaan, pendampingan, sekaligus pengawasan.
"Selama badan hukumnya koperasi maka itu berada di bawah kewenangan kami, bukan OJK," kata Choirul.
Dengan demikian jelas bahwa operasional tidak memerlukan izin apapun dari OJK. Koperasi sendiri bukan merupakan lembaga keuangan perbankan yang menghimpun dana masyarakat luas, namun badan hukum yang mengurusi simpan pinjam masyarakat yang menjadi anggota dan calon anggotanya saja.
14 Koperasi
Awal November 2014, OJK mengidentifikasi 262 penawaran investasi yang terindikasi bermasalah. Setelah ditelusuri, sebanyak 218 penawaran investasi tersebut tidak memiliki kejelasan izin dari otoritas berwenang.
Sementara 44 sisanya berada di bawah naungan sejumlah otoritas, seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Badan Pengawas Perdagangan Komoditi Berjangka (Bappebti), Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sebanyak 14 koperasi yang masuk dalam daftar tersebut di antaranya Koperasi Bubur Pandawa Mandiri yang menawarkan investasi uang, Koperasi Cipaganti yang menawarkan investasi uang, Koperasi Jasa Hukum yang menawarkan investasi tanaman/perkebunan jabon, dan Koperasi Jasa Profesi Cipta Prima Sejahtera yang menawarkan investasi tanaman/perkebunan kelapa sawit.
Kemudian Koperasi Karya Mandiri yang menawarkan investasi uang, Koperasi Masyari yang menawarkan investasi uang, legalitas dipertanyakan, dan Koperasi Mitra yang menawarkan investasi uang, deposito dengan bunga 10 persen.
Daftar selanjutnya menyebutkan Koperasi Nasari yang menawarkan investasi uang, Koperasi Pandawa Mandiri yang menawarkan investasi uang, Koperasi Persada Madani yang menawarkan investasi berjangka, Koperasi Pondok Pesantren (KOPONTREN) yang menawarkan investasi uang dengan imbal hasil yang besar, Koperasi Sejahtera Bersama yang menawarkan investasi uang.
Selanjutnya Koperasi Sumber Insan Mandiri yang menawarkan investasi uang dengan imbal hasil yang besar, dan Koperasi Titian Utama yang menawarkan investasi uang berupa penghimpunan dana masyarakat.
Masuknya 14 koperasi dalam daftar OJK sebenarnya bukan tanpa alasan. Otoritas itu sejak awal 2013, menerima 2.772 pengaduan masyarakat terkait kasus investasi bodong maupun sengketa industri keuangan.
Dari jumlah itu, Direktur Pengembangan Kebijakan Edukasi dan Perlindungan OJK Anto Prabowo mengungkapkan, sebanyak 220 pengaduan terindikasi melanggar ketentuan pelaku usaha jasa keuangan yang diawasi OJK. "Sebagian besar dari sektor perbankan, terkait lelang jaminan kredit," ujar Anto.
OJK sebenarnya telah menyelesaikan 61 pengaduan dengan memfasilitasi pertemuan antara konsumen dengan perusahan. Sanksinya berupa teguran, sanksi administratif atau kewajiban pembayaran kepada konsumen. Misalnya, hak konsumen mendapat klaim asuransi.
Sebanyak 490 pengaduan masih dalam proses penyelesaian OJK. Sedangkan pengaduan-pengaduan lain masuk klasifikasi aduan yang dapat diproses pelaku usaha jasa keuangan, bukan wewenang OJK atau laporan kurang lengkap.
Dari total 2.772 juga terdapat 218 pengaduan yang merupakan penawaran investasi tak memiliki izin dari otoritas lain, seperti Kementerian Koperasi dan UMKM serta Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditas.
Pengamat perkoperasian Suroto meminta Kementerian Koperasi dan UKM untuk tidak melindungi praktik investasi bodong yang menggunakan "payung" usaha koperasi.
"Sebaiknya Kementerian Koperasi dan UKM segera melakukan langkah tindak lanjut dan jangan malah terus melindungi mereka yang terbukti melanggar UU Perkoperasian," kata Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES).
Ia mengatakan selama ini, banyak koperasi simpan pinjam yang sebetulnya sudah beroperasi menyimpang dari koridor prinsip-prinsip koperasi.
Menurut Suroto di lapangan kerap dijumpai usaha berbadan hukum koperasi, tapi banyak di antaranya yang bekerja laiknya bank yang melayani masyarakat di luar anggotanya dan hal itu jelas menyalahi UU Perkoperasian yang mengamanatkan koperasi hanya melayani anggota dan calon anggotanya saja.
"Citra koperasi berulangkali dirusak oleh koperasi model ini. Praktik seperti ini sebetulnya sudah lama terjadi dan biasanya kalau timbul masalah pihak Kementerian Koperasi dan UKM terkesan cuci tangan," katanya.
Pihaknya memantau selama ini semakin banyak koperasi simpan pinjam yang melakukan praktik menyimpang dengan menghimpun dana masyarakat padahal mereka sebetulnya sudah diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1995 tentang Koperasi Simpan Pinjam yang intinya hanya boleh melayani anggota.
"Mereka siasati salah satu ketentuan dalam PP tersebut dengan istilah calon anggota yang diperbolehkan dalam PP tersebut. Bahkan dalam praktiknya ada orang yang dijadikan calon anggota sampai berpuluh tahun dengan cara mengisi aplikasi formulir calon anggota setiap mau melakukan pinjaman baru," katanya.
Pengawasan dari pihak Kementerian Koperasi dan UKM selama ini dinilainya sangat lemah dan tanpa mekanisme yang tegas.
Ia juga menyarankan penertiban koperasi-koperasi yang tidak aktif sekaligus mendorong koperasi untuk patuh pada prinsip-prinsip koperasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Bentuk Tim
Kementerian Koperasi dan UKM membentuk tim khusus merespon isu koperasi yang diduga menyimpang, menawarkan investasi bodong, dan menyalahi UU Perkoperasian karena menghimpun dana masyarakat luas.
"Kami sendiri ada tim khusus yang bertugas melakukan pendekatan dan mendalami persoalan ini di lapangan untuk mencari solusi terbaik," kata Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Choirul Djamhari.
Tim itu kata Choirul beranggotakan personal dari lintas kedeputian di Kementerian Koperasi dan UKM.
"Tapi jika koperasi sudah menjalankan amanah UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang hanya memperbolehkan koperasi melayani anggota dan calon anggotanya saja, itu tidak perlu izin dari OJK," katanya.
Choirul sendiri mengatakan sampai sejauh ini belum mendapatkan informasi lebih lanjut terkait sejauh mana tim khusus tersebut bekerja menindaklanjuti laporan-laporan mengenai koperasi yang menyimpang dari UU Perkoperasian.
Pada kesempatan yang sama Asisten Deputi Urusan Pengembangan dan Pengendalian Simpan Pinjam Kementerian Koperasi dan UKM Rosdiana V. Sipayung mengatakan sanksi bagi koperasi yang menyimpang diberikan secara bertahap sesuai aturan yang berlaku.
Bagi yang tidak patuh, ada tahapan sanksi yang akan diterapkan meliputi teguran lisan, teguran tertulis, pelarangan pengelolaan simpan pinjam bagi pengurus, pelarangan izin usaha simpan pinjam, hingga sanksi pencabutan badan hukum.
"Jadi ada aturannya, teguran lisan dua kali, teguran tertulis dua kali, pengurus dilarang melakukan usaha simpan pinjam, izin usaha simpan pinjam koperasi dicabut, baru kemudian sanksi pencabutan hukum bagi koperasi," katanya.
Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014