Jakarta (ANTARA News) - Pengamanan ekstra kepada tamu negara adalah hal yang wajar, namun jika sampai mengganggu roda perekonomian, bahkan sampai melarang warga setempat keluar rumah, maka kebijaka itu patut dipertanyakan."Bush (Presiden Amerika Serikat George W.Bush-red.) itu berasal dari negara besar dan dianggap sebagai penjahat perang oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia. Karenanya wajar jika dilakukan pengamanan ekstra. Tapi, jika sampai memutus komunikasi dan roda ekonomi lokal, ini jadi tidak masuk akal," kata Pengamat Internasional dari CSIS, Bantarto Bandoro, di Jakarta, Sabtu. Menurut dia, hal-hal seperti itu tidak perlu dilakukan apabila pemerintah percaya diri dengan sistem pengamanannya selama ini. Bantarto mengakui bahwa kunjungan Presiden Bush 20 November ini berbeda dengan kunjungan presiden-presiden AS sebelumnya, seperti Richard Nixon, Ronald Reagen ataupun Bill Clinton. Hal tersebut dikarenakan pada masa pemerintahan Bush, AS sangat mudah terprovokasi sehingga kebijakan luar negerinya banyak memicu kontroversi dan penentangan dari banyak negara, semisal invasinya ke Afghanistan dan Irak. Mengenai kunjungan Bush kali ini, Bantarto melihat adanya kecenderungan negara adidaya itu melihat Indonesia sebagai satu negara penting dan strategis di kawasan Asia untuk saat ini dan di masa mendatang. "Meski hanya beberapa jam, Bush merasa perlu bicara dengan pemerintah Indonesia dan pembicaraan pun lebih banyak pada lingkup Kesra yang baru bisa dirasakan hasilnya oleh masyarakat Indonesia setelah dua tiga tahun ke depan," katanya. Soal posisi tawar Indonesia di mata AS, Bantarto menilai bahwa walaupun secara politik, ekonomi ataupun hukum Indonesia telah dinilai baik oleh dunia internasional, semua itu tidak secara otomatis mampu meningkatkan posisi tawar Indonesia. "Fakta bahwa kita sedang berhadapan dengan negara super power dan kita tetap tidak akan bisa mengubah pandangan negara itu sedikitpun," katanya. Kendati demikian, Bantarto mengatakan, bukan mustahil dalam pertemuan di Bogor nanti, AS meminta peran lebih Indonesia untuk menyelesaikan persoalan di Timur Tengah, khususnya soal Palestina. "Ini merupakan kredit poin yang bisa dimanfaatkan Indonesia sebaik-baiknya," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006