Yingluck, yang diturunkan dari jabatannya melalui keputusan pengadilan bermasalah sebelum militer merebut kekuasaan, dilarang meninggalkan Thailand tanpa seizin junta, bersama dengan ratusan politisi lain, pegiat, akademisi, dan wartawan, yang ditahan setelah kudeta, lapor AFP.
Setelah itu mantan perdana menteri tersebut diizinkan bepergian ke luar negeri untuk menghadiri dua acara, dengan syarat ia bersikap merendah. Namun setelah publikasi wawancaranya pada Senin, Prayut mengancam untuk mencabut kebebasannya.
"Saya tengah mempertimbangkannya dan telah meminta staf keamanan untuk memperhatikan masalah ini," kata Prayut kepada wartawan setelah pertemuan mingguan kabinet, untuk menanggapi apakah junta akan melarang Yingluck bepergian ke luar negeri menyusul wawancara pada Senin itu.
"Kami memiliki aturan yang jelas. Jika sesuatu memicu huru-hara atau kerusuhan kami ada langkah-langkah... Jika ia ingin ke luar negeri, ia tidak akan bisa pergi," katanya.
Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan, Senin, harian Bangkok Post mengutip Yingluck yang menggambarkan pelengserannya bagaikan "tiba-tiba, seseorang menodongkan senjata di kepala saya dan meminta saya keluar dari mobil sementara saya berada di belakang kemudi membawa penumpang".
Prayut mengomentari pernyataan tersebut dengan mengatakan, "Siapa yang menodongkan senjata ke dia?"
Pada Juli, junta mengizinkan Yingluck bepergian ke Eropa dan Amerika Serikat. Bulan lalu ia mengunjungi Jepang serta Tiongkok, dan disela-sela kunjungan itu ia bertemu kakak lelakinya yang juga pelarian mantan PM Thaksin Shinawatra.
Kudeta pada Mei merupakan bagian terakhir konflik politik Thailand yang berkepanjangan, yang menghadapkan kelas menenagah Bangkok dan elit kerajaan yang didukung sebagian militer dan pihak pengadilan, dengan warga kawasan pedalaman serta kelas pekerja yang setia pada Thaksin.
Pemerintahan yang dipimpin Shinawatra selalu memenangi pemilu sejak digelar pada 2001.
Setelah berbulan-bulan menghindar dari sorotan, Yingluck dan Thaksin mulai masuk kembali dalam kehidupan publik, sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi junta.
Foto-foto pasangan itu memeluk panda selama kunjungan ke provinsi Sichuan di Tiongkok beredar luas, dan memicu Prayut mengancam akan melakukan pemantauan ketat atas media kecuali mereka berhenti memuat berita mengenai Thaksin. (S022/B002)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014