Jakarta (ANTARA News) - Suasana di SDN Maphar 02, Jalan Kebon Jeruk VII, RT 04/ RW 05 Jakarta Barat, Selasa pagi sangat meriah.
Ibu-ibu guru berpakaian celana training dan kaos olah raga berlari-larian di halaman, menendang dan mencoba saling merebut bola. Mereka sedang merayakan hari guru dengan bermain sepak bola.
Adalah Mahdali (52), pria yang selama dua tahun terakhir menjabat sebagai kepala sekolah di SD tersebut, yang mempunyai ide merayakan Hari Guru dengan memotong tumpeng dan bermain sepak bola.
Menurutnya, guru menggambarkan profesi yang sederhana tapi meriah, ya seperti permainan sepak bola itu.
"Menjadi guru itu tugasnya gampang, mendidik. Tapi di sana banyak tantangannya terutama terkait kesejahteraan. Mau tak mau kesejahteraan akan berbanding lurus dengan kinerja," kata Mahdali saat ditemui ANTARA, sedang bercengkrama dengan anak-anak muridnya di Jakarta, Selasa.
Mahdali mengisahkan, dirinya memang lahir dari keluarga guru.
"Semua di keluarga saya guru, ada sih yang jadi tentara, tapi akhirnya ngajar juga di Pusdikum," kata Mahdali yang mengaku Betawi asli itu.
Mahdali mengawali karirnya sebagai pengajar sejak tahun 1985, setelah lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Meski tidak tergolong mampu secara ekonomi, ia tidak berhenti menyelami kualitas diri dan meningkatkan pendidikannya dengan biaya sendiri.
"Dulu saya orang susah, mampunya cuma SPG, (tetapi) lalu lanjut D2, S1 sekarang sudah S2," katanya bangga.
Miris guru honorer
Sebagai kepala sekolah, Mahdali paling miris melihat kondisi para guru honorer.
Guru honorer, terutama di DKI Jakarta hanya mampu dibayar dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) sekedarnya, yang sering telat turun juga.
"Di DKI honorer cuma dibayar Rp400.000 pakai dana BOS dan BOP, padahal kalau honorer di SKPD lain dibayar sesuai UMR sudah. Kan kasihan, mereka sekolahnya mahal-mahal cuma digaji Rp400.000," kata Mahdali yang mengaku turut bangga pernah mengajar sederet artis seperti Shezy Idris itu.
Apalagi, ditambah biaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang harus ditanggung para guru dengan merogoh koceknya sendiri.
"Seperti saya, melanjutkan sekolah S2 dengan biaya sendiri, belum lagi untuk pemahaman IT semua guru harus ikut pelatihan, itu juga bayar sendiri," katanya.
Ke depan Mahdali berharap pemerintah benar-benar lebih memprioritaskan kesejahteraan para pendidik.
"Apalagi subsudi BBM sekarang sudah dikurangi, ya mudah-mudahan untuk pendidikan ditambah begitu. Supaya nanti saya melihat orang-orang terbaik di kelas itu kalau ditanya mau jadi apa? Jadi guru, mau ke UNJ. Sekarang yang pintar maunya ke ITB," kata pria lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) itu.
Menurutnya, semakin baik kualitas pengajar maka mutu pendidikan akan semakin bagus. "Apalagi pemerintah sekarang kan fokusnya perbaiki SDM, maka bantulah guru ini, muliakan profesinya, buat pekerjaannya jadi lebih mudah dengan menyejahterakannya," kata pria yang setiap hari harus berangkat pukul 05.00 WIB dari rumahnya di pinggiran Jakarta, Cengkareng, untuk sampai di sekolah tepat waktu setiap harinya itu.
Ada 148 murid di sekolah yang dipimpin Mahdali. Mereka diajar oleh 10 guu tetap dan enam guru honorer. Mereka tampak dekat satu sama lain seperti berada di sebuah rumah yang besar.
Mahdali teringat pernah memiliki satu murid yang terkenal bebal dan bandel, tapi Mahdali sangat bangga padanya, suatu waktu sang murid datang untuk meminta legalisir dan rupanya dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
"Saya selalu ingatkan pada murid-murid saya, selagi kecil berbahagialah, kalau gagal, jangan patah semangat karena kalian masih sangat muda. Coba lagi dan perbaiki, toh hidup itu akan berkembang," kata Mahdali yang senang jika mendengar muridnya sukses.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014