"Jangan pernah kembali ke Pangalengan (sebelum berhasil)", pesan ayah Taufik Hidayat saat ia meninggalkan kota kecil itu mengejar cita-cita menjadi atlet bulu tangkis.
Sekitar 23 tahun kemudian, setelah namanya menjadi besar sebagai salah satu atlet terbaik yang dimiliki Indonesia, awal pekan lalu, Taufik kembali ke Pangalengan.
Perjalanan ke Pangalengan dari Jakarta membutuhkan waktu sekitar empat jam, melalui jalan berkelok-kelok dan menanjak selepas Dayeuh Kolot di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Bisa dimengerti jika semasa aktif menjadi atlet, juara Olimpiade Athena 2004 itu jarang "pulang", karena perjalanan tersebut cukup memakan waktu dan melelahkan.
Setelah gantung raket, juara dunia 2005 itu punya lebih banyak waktu untuk mudik.
Seperti kembali ke masa kecilnya, Taufik bersama Ami Gumelar istrinya serta putra mereka Nayotama, menyambangi Sekolah Dasar Pangalengan 1, tempat ia pertama menimba ilmu, bertemu guru-gurunya dahulu, dan melihat rumah masa kecilnya.
Seolah memutar mesin waktu, ia mengenang masa kecilnya yang penuh perjuangan.
"Saya harus melakukan skipping atau mengangkat dumbell dulu sebelum dikasih uang (jajan) atau boleh bermain," katanya mengenang gemblengan ayahnya, Aris Haris, yang keras.
Taufik kecil juga tidak punya banyak waktu untuk bermain bersama teman-temannya, karena waktu luangnya sangat sedikit. Pagi sekolah, siang latihan, sore belajar di madrasah.
"Saya lebih banyak bermain dengan saudara-saudara, jarang main sama temen-teman sekolah, karena pulang sekolah sudah ditungguin untuk latihan. Sebelum magrib sudah harus masuk rumah," kata anak kedua dari tiga bersaudara itu.
Karena harus berada di rumah sebelum magrib itu pula, ayahnya pernah marah dan membelah bolanya karena Taufik yang gemar bermain sepak bola itu belum pulang saat mangrib menjelang.
Di sekolah, Taufik juga bukan anak yang "gaul", ia lebih suka menyendiri. Tetapi, kata Ranny Nuraeni, wali kelasnya saat duduk di kelas 3 SD, jangan coba-coba mengganggunya, karena Taufik akan mengejar si pengganggu sampai dapat dan dibuatnya menangis.
"Dulu (Taufik) pendiam. Nggak bergaul sama yg lain, tapi cukup galak kalau diganggu," kata Ranny mengenang.
Ketika duduk di kelas 5 SD, Taufik harus bolak-balik Pangalengan-Bandung yang jaraknya 40km, untuk mengikuti pelatihan di Klub Sangkuriang Graha Sarana sepulang sekolah.
Menurut gurunya, Taufik mendapat pelatihan privat dari mantan pebulu tangkis nasional Iie Sumirat setelah berhasil menjadi juara Porseni sekabupaten Bandung.
Menjalani latihan di Bandung sepulang sekolah lalu pulang ke Pangalengan untuk kembali sekolah keesokan harinya, bukanlah sesuatu yang mudah bagi Taufik kecil.
Apalagi ia dan ayah yang mengantarnya saat itu harus naik turun kendaraan umum.
"Kadang kalau angkutan umumnya sudah penuh, saya terpaksa bergelantungan di pintu, yang penting si Taufik sudah aman duduk di depan," kata Aris Haris.
Rutinitas itu dijalaninya selama dua tahun sampai ia lulus sekolah dasar. Ketika ia duduk di bangku SMP, Taufik memilih untuk meninggalkan Pangalengan dan kost di Bandung untuk sekolah dan berlatih.
Sejak itu, diusianya yang masih belia, Taufik mulai menjalani kehidupan seorang diri, jauh dari kedua orangtua dan kakak serta adiknya.
Bersahaja
Fans bulu tangkis yang melihat kehidupan Taufik Hidayat setelah sukses menjadi bintang, mungkin tidak menyangka jika ia berasal dari keluarga yang bersahaja.
Ayahnya yang seorang petani sayur, setiap hari harus berpikir keras mencari uang untuk ongkos mengantar putranya berlatih di Bandung.
"Tiap hari mikirin si Taufik besok berangkat ongkosnya dari mana," kata Aris yang menyebutkan saat itu sekali jalan dibutuhkan biaya Rp4.000. "Pokoknya yang diamankan ongkos dulu," tambahnya.
Kebersahajaan itu tampak dari rumah keluarga tersebut yang sederhana. Hingga tahun 1995 keluarga tersebut tinggal di sebuah gang kecil berkelok-kelok, tidak jauh dari rumah yang ditinggali orangtua Taufik saat ini.
Di seberang rumah tersebut terdapat madrasah tempat Taufik belajar semasa tinggal di Pangalengan.
Tidak jauh dari rumah itu pula, dulu terdapat lapangan bulu tangkis beralas tanah dikelilingi kebun bambu, yang biasa digunakan Taufik bermain bersama ayahnya yang gemar olahraga itu.
"Kebanyakan saya bermain dengan orang-orang tua teman papa," kata Taufik.
Karena lebih banyak berlatih dengan orang-orang tua itu pula Taufik akhirnya memutuskan pindah ke Bandung untuk bergabung dengan klub bulu tangkis.
"Yang minta ke Bandung saya, karena di sini nggak ada klub untuk anak-anak, jadi mainnya sama orang-orang tua," katanya.
Saat itu Taufik sudah bertekad menjadi atlet bulu tangkis karena menurut orang-orang yang menasihatinya -- termasuk sang ayah-- jika benar-benar ingin menjadi atlet, di Indonesia yang sukses hanya bulutangkis, cabang lain tidak ada.
Maklum saja, masa itu memang masa keemasan bulu tangkis Indonesia. Merah Putih merupakan salah satu negara yang disegani dengan sejumlah bintang besar mulai dari zaman Rudy Hartono hingga era Alan Budikusuma dan kawan-kawan.
Dan ketika usianya menginjak 14 tahun, Taufik diberi pilihan oleh orangtuanya apakah mau menjadi atlet atau sekolah, "Saya bilang saya pilih olahraga bulutangkis dan yakin bisa." Dan ia membuktikan ucapannya.
Maka, ketika ia kembali ke Pangalengan, di hadapan ratusan murid sekolah dasar tempat ia bersekolah dulu, Taufik berpesan agar mereka tidak takut untuk bermimpi.
Mimpi yang diiringi dengan kerja keras, tekun dan berpandangan ke depan, tidak mustahil akan tercapai, katanya. "Mimpilah setinggi-tingginya.."
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014