Jakarta (ANTARA News)- Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang dibentuk 8 Agustus 1967 melaksanakan konferensi tingkat tinggi (KTT) setiap tahun, dan terakhir pada pertemuan ke-25 dengan tuan rumah Myanmar.
KTT itu menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa ASEAN merupakan organisasi regional terbesar kedua setelah Uni Eropa.
Tanpa ASEAN, peta hubungan antarnegara di Asia Tenggara tentunya tidak secantik saat ini, kata Ikrar Nusa Bhakti (Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015, C.P.F. Luhulima, P2P LIPI, Jakarta 2010).
Bagi Indonesia, ASEAN adalah forum utama untuk politik luar negerinya. Indonesia berinisiatif untuk mempromosikan kerja sama ekonomi, politik serta keamanan dan sosial budaya.
Indonesia mengembangkan ASEAN untuk memfasilitasi integrasi ekonomi pada 2015, meminimalisasi konflik antara negara-negara anggota dan memformulasikan posisi ASEAN dalam menanggapi isu-isu global terkini termasuk ancaman eksternal yang potensial seperti terorisme.
Indonesia telah meyakinkan pemimpin-pemimpin ASEAN dalam mengembangkan tiga pilar ASEAN: Komunitas Politik Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN dengan argumentasi bahwa ketiganya sejalan dan menyeimbangkan dan merefleksikan masyarakat ASEAN.
ASEAN beranggota Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Untuk pertama kali, Presiden Joko Widodo menghadiri KTT ASEAN dengan sejumlah negara mitra lainnya. Salah satunya adalah KTT ASEAN dengan Asia Timur (EAS).
Dalam pertemuan tersebut Presiden Jokowi bertemu dengan para pemimpin negara ASEAN dan juga Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru.
Kepemimpinan Indonesia
C.P.F. Luhulima dalam bukunya "Dinamika Asia Tenggara Menuju 2015" menyebutkan Indonesia sejak Presiden Soeharto telah menunjukkan kepemimpinannya di ASEAN.
Soeharto memberikan prioritas yang paling utama kepada hubungan yang "dekat dan harmonis", kepada penggalangan kerja sama yang mantap dengan negara-negara tetangga sebab di sinilah terletak "kepentingan nasional kita yang paling vital".
Alasan itu pula yang membuat "penciptaan kestabilan dan kerja sama regional di Asia Tenggara akan mendapatkan prioritas yang tinggi".
"Warisan Soeharto dalam ikut mencetuskan ASEAN dan cara serta bentuk pengembangan dan peralihannya dari tahun pembentukkannya sampai ia meninggalkan kepemimpinan tertinggi Indonesia pada 1998 sangat berbekas dalam inti ASEAN 2020: suatu Asia Tenggara yang "integrated", stabil dan sejahtera serta berorientasi ke luar merupakan peninggalan yang harus kita lestarikan," tulis Luhulima.
Kepemimpinan nasional Indonesia yang baru diharapkan memiliki kesadaran tinggi terhadap potensi-potensi yang dimiliki oleh Indonesia seperti diperlihatkan para pemimpin Indonesia sebelumnya untuk turut berpartisipasi aktif bagi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan misalnya di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS).
"Peran RI terkait dengan upaya menyelesaikan klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan tidak dapat dilepaskan dari kerangka kerja Komunitas ASEAN yang beriringan dengan Kerangka Kerja Kemitraan ASEAN dengan Tiongkok," kata Direktur Pusat Kajian Indonesia untuk Demokrasi, Diplomasi dan Pertahanan (IC3D), Begi Hersutanto.
Malaysia, Brunei, Filipina dan Vietnam termasuk anggota ASEAN selain Tiongkok dan Taiwan yang mengklaim sebagian atau seluruhnya dari kawasan Laut Tiongkok Selatan sebagai wilayah negara mereka.
Begi mengatakan masyarakat ASEAN terbangun oleh tiga pilar utama, dimana salah satu pilar tersebut adalah Komunitas Ekonomi ASEAN dan Masyarakat Sosial Budaya ASEAN yang berpikir ke arah terciptanya derajat interaksi antarekonomi intra-ASEAN pada derajat yang tinggi dan berpikir ke arah pembangunan hubungan antara masyarakat (people-to-people relations) sesama anggota ASEAN.
"Jika implementasi kedua visi pilar tersebut segera terwujud pada tahapan derajat yang sangat signifikan, akan tercipta suatu kondisi ketergantungan antar-ASEAN," kata pengamat hubungan internasional itu.
Menurut dia, hal tersebut cepat atau lambat akan mengundang negara-negara non-ASEAN untuk juga merasa berkepentingan turut serta ambil bagian dalam dinamika ASEAN yang kondusif.
Pendekatan sedemikian rupa, melalui kerangka kerja ASEAN yang tidak berorientasi pada pendekatan keamanan semata, nampaknya lebih "visible" bagi terciptanya stabilitas dan mencegah terjadinya eskalasi di Laut Tiongkok Selatan.
"Dalam hal ini selama dua dekade terakhir terbukti Indonesia berhasil mempromosikan hal tersebut," kata Begi.
Di antara anggota ASEAN sudah berlaku "Code of Conduct", dan dalam hal hubungan ASEAN dan Tiongkok terkait LTS mengapa tidak CoC harus juga dimiliki.
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2014