Mulyono lantang menyampaikan haknya yang hilang atas tanah seluas tiga hektare di kaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat.
Orang Sembalun itu mengungkapkan keprihatinannya di hadapan komisioner Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Adat dalam dengar keterangan umum masyarakat wilayah Bali-Nusa Tenggara di Mataram, Jumat (14/11).
Ia menuturkan bagaimana awalnya 200 orang dari daerah itu mengikuti program kopi yang didengungkan oleh seorang staf Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Sembalun 25 tahun lalu.
"(Dari 200 orang) hanya tujuh orang yang tidak bisa setor kopi lalu tanahnya diambil. Dia sebut hutang saya Rp700.000, padahal dapat pupuk pun satu karung dibagi dua (petani), bibit dibagi-bagi banyak (petani) juga," kata Mulyono.
Saat ditanya komisioner inkuiri nasional apakah dia sudah melaporkan kasus ini ke pihak berwenang, Mulyono mengaku belum pernah melaporkan apa pun karena takut.
"Takut Bu. Kami waktu itu lihat orang pakai celana panjang saja takut, tidak berani kami melapor, tidak tahu pula ke mana lapor," katanya.
Sabtu (15/11), Mulyono menunjukkan tanah kosong seluas tiga hektare miliknya di kaki Gunung Rinjani yang hilang. Satu pohon kopi sedang berbunga di antara semak belukar, beberapa pohon nangka sedang berbuah, serta satu rumah kecil yang tidak dipakai dan rusak berdiri di pinggir lahan tersebut.
"Satu pohon kopi itu saja tersisa sebagai kenangan, lainnya sudah ditebas waktu tanah ini diambil. Pohon-pohon nangka itu juga saya yang tanam dari mulai biji," ujar Mulyono.
Ia lantas menceritakan kembali peristiwa 25 tahun lalu, saat staf UPTD Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Sembalun berinisial K yang kini menjabat sebagai Kepala UPTD Sembalun datang menagih hutang kopi ke rumahnya.
"Dua kali dia datang menagih, saya ketakutan lari terbirit-birit sembunyi ke sungai. Dia datang lagi meminta tanda tangan," katanya.
Mulyono mengaku diminta menandatangani berkas yang tidak dia ketahui isinya. "Ada tulisannya, saya tidak tahu apa isinya, saya tidak bisa baca. Kami dulu itu bodoh, benar-benar bodoh, bahkan melihat orang memakai celana panjang saja kami lari ketakutan."
Sejak saat itu, dia tidak dapat lagi menempati tanah tempat ia dilahirkan. Bahkan adiknya terpaksa pergi ke Arab Saudi bersama sang suami untuk bekerja karena tidak ada lagi lahan yang dapat digarap di Sembalun.
Konflik Lahan
Sembalun terkenal di kalangan pendaki dalam maupun luar negeri karena lembah yang dikelilingi beberapa bukit itu merupakan salah satu pintu masuk untuk mencapai puncak Rinjani.
Sama seperti wilayah di sekitar gunung berapi lainnya, daerah berhawa sejuk di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut itu diberkahi dengan tanah yang subur.
Namun berkah alam yang begitu besar itu juga membuat masyarakat asli yang menyebut diri mereka masyarakat adat Sembalun tidak hidup tenang.
Menurut pemangku adat masyarakat Sembalun, Abdul Rahman, ketenangan masyarakat yang hidup di kaki Gunung Rinjani sesungguhnya hilang sejak pada masa perintahan kolonial Belanda, ketika kawasan hutan dan tanah-tanah masyarakat hukum adat Sembalun dijadikan tanah negara dengan istilah Gross Governoor (GG), kawasan hutan tutupan, kawasan suaka margasatwa, dan kawasan-kawasan lain.
Ketidaktenangan itu berlanjut ketika pemerintahan Orde Baru menjadikan semua tanah tidak bersertifikat sebagai milik negara dan menyerahkan hak pengelolaanya kepada perusahaan serta menjadikan wilayah hutan sebagai hutan lindung dan taman nasional yang membatasi akses masyarakat untuk memanfaatkannya.
Abdul Rahman mengatakan masuknya PT Sembalun Kusuma Emas yang masih milik keluarga Cendana ke daerahnya mengawali kedatangan perusahaan-perusahaan bermodal besar lain seperti PT Sampoerna Agro, PT Agrindo Nusantara, PT Putra Agro Sam Lestari, PT Cipta Karya Sarana, PT Benete yang mengelola lahan begitu luas untuk pertanian dan perkebunan.
Perusahaan-perusahaan itu menghasilkan produk-produk pertanian dan perkebunan berkualias tinggi dan masyarakat petani tidak bisa menyaingi produk mereka.
"Hasil pertanian terbaik kita pun tidak bisa mengalahkan hasil pertanian terburuk mereka," ujar dia.
Masyarakat adat Sembalun makin gelisah mendengar rencana proyek Geopark dan rencana pembukaan lahan untuk jalan sepanjang 35 kilometer di daerah mereka.
"Geopark kalau tidak bisa ditahan ya harus bisa menyatu dengan masyarakat, memanusiakan masyarakat sekitar," ujar Abdul Rahman.
Berkenaan dengan itu Kepala Seksi Hak Tanah Pendaftaran Tanah Kawasan Tertentu Badan Pertanahan Nasional Lombok Timur Durlim mengatakan PT Sembalun Kusuma Emas memegang sertifikat pembebasan tanah seluas 555 hektare namun belum pernah memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).
Dari lahan seluas 555 hektare tersebut, PT Sampoerna Agro mengajukan HGU seluas 135 hektare untuk pertanian, dan areal yang diajukan HGU-nya diperluas menjadi 183 hektar saat beralih ke PT Agrindo Nusantara.
Status tanah sebelum masuknya PT Sembalun Kusuma Emas, menurut dia, adalah tanah negara yang dikuasai masyarakat. Ada proses ganti rugi terhadap tanaman dan bangunan di atas tersebut dengan bukti berita acara dan kwitansi.
Konflik lain
Konflik lahan lain muncul saat Menteri Kehutanan melalui surat Nomor 448/Menhut-VI/90 menetapkan sebagian dari daerah Sembalun menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani yang luasnya 41.330 hektare pada 1990.
Penetapan itu membuat aktivitas masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat Sembalun berubah. Kebiasaan mereka mengambil ranting di kawasan hutan, menggembala sapi savana, dan bertani di lereng Rinjani dihentikan setelah kawasan tersebut menjadi taman nasional.
Ketua komunitas adat Sajang Indrawan mengatakan sebuah pemukiman lama bernama Kampung Tempos yang berada di seberang sungai hanya bisa masuk ke kampung melewati Taman Nasional Gunung Rinjani.
Ketegangan dengan pengelola taman nasional terjadi saat masyarakat mencoba memperbaiki akses jalan ke kampung tersebut dan dilarang oleh pengelola taman nasional.
Staf Taman Nasional Gunung Rinjani Imran Lubis mengatakan pelarangan memasuki kawasan taman nasional sebenarnya tidak seperti yang disampaikan masyarakat Sembalun.
Pengelola taman nasional, menurut dia, masih membiarkan masyarakat menggembala ternak di sana. Dan pada 7 November 2014 ada acara Pekelem yang dilakukan masyarakat beragama Hindu di kawasan Rinjani.
Program Geopark yang sedang dikaji oleh pemerintah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa ditujukan untuk menjadikan Gunung Rinjani dan daerah penyangganya sebagai taman dunia, dan tidak akan menyingkirkan masyarakat adat yang sudah punya ikatan kuat dengan gunung dari kawasan tempat mereka hidup.
Staf Taman Nasional Gunung Rinjani lainnya, Ahmad Asnawi, mengatakan area di sekitar Danau Segara Anak merupakan zona inti di mana tidak boleh ada aktivitas apa pun kecuali untuk penelitian dan ada zona rehabilitasi di pinggir zona inti.
Sementara Sembalum, menurut dia, masuk ke zona pemanfaatan dan zona tradisional ada di hutan sekitar Kampung Triya yang sejak lama memanfaatkan pakis di daerah tersebut.
Staf Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII Denpasar I Ketut Gede Yase mengatakan wilayah yang diklaim masyarakat adat Sembalun masuk ke dalam kelompok hutan Gunung Rinjani Register Tanah Kehutanan Nomor 1.
Kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan tutupan oleh Gubernur Jenderal Belanda di masa kolonial.
Pada periode 2000-2012, ia mengatakan, Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan BPKH VIII Denpasar melakukan rekonstruksi batas luar Taman Nasional Gunung Rinjani, dan menetapkan luas kawasan hutan menjadi 125.200 hektare yang terbagi dalam tujuh kelompok fungsi.
Pembagian kelompok kawasan hutan antara lain meliputi hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, taman nasional, taman wisata alam, hutan wisata hutan raya, dan hutan suaka.
Saat itu ada patok batas bersifat sementara sehingga jika memang ada klaim dari masyarakat maka lahan akan dikeluarkan dari kawasan hutan dengan melakukan konsultasi dengan Bupati.
Meski demikian selama periode rekonstruksi kawasan hutan Rinjani ia mengaku belum pernah mendengar ada klaim masyarakat adat Sembalun atas tanahnya, selain usul untuk melakukan tumpang sari di wilayah hutan di sana.
Masyarakat adat Sembalun yang mendiami sejumlah desa di kaki Gunung Rinjani menginginkan kawasan hutannya kembali, setelah melihat kondisi alam di kawasan tersebut menurun sejak dikelola Balai Taman Nasional Gunung Rinjani.
Sebelumnya ada 44 mata air di daerah tersebut dan kini tinggal 14 mata air yang tersisa pada musim hujan dan tiga saja di musim kemarau.
Pembalakan pohon liar yang marak terjadi di kawasan lindung sekitar Rinjani, menurut dia, merupakan salah satu pemicu hilangnya sumber-sumber mata air di sana.
"Masyarakat kami tidak akan memotong pohon di hutan tanpa persetujuan Mangku Gawar. Mereka yang memotong dapat sanksi diarak kampung membawa pohon yang dipotong dan harus menanam dan merawat 10 pohon hingga besar untuk menggantikan satu pohon yang ditebang, jadi hutan tidak akan punah," ujar Abdul Rahman.
Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014