Palu (ANTARA News) - Dalam sebuah antrean, seorang ibu muda pengendara motor terlihat kesal sambil menggerutu menahan emosi ketika petugas stasiun pengisian bahan bakar umum di Jalan Kartini, Kota Palu, menyatakan bensin habis.
Padahal ibu muda tersebut telah mengantre lebih dari setengah jam, dan saat tinggal beberapa jengkal dari mocong selang pengisi bensin, premium dinyatakan habis.
"Maaf bensin habis," kata petugas SPBU Kartini sembari menutup jalan antrean dengan pagar besi.
Kekesalan serupa mungkin juga dirasakan seratusan orang lainnya yang antre. Sudah sekitar satu bulan ini, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) terjadi di Kota Palu dan beberapa kabupaten tetangga lainnya di Provinsi Sulawesi Tengah.
Setiap hari antrean pengendara yang hendak membeli bensin dan solar mengular di semua SPBU.
Bahkan untuk bisa memenuhi tangki bensin mobil, seseorang bisa sampai mengantre hingga lebih satu jam. Sudah berapa saja uang yang menguap, apabila yang antre itu adalah sopir angkot atau pengemudi taksi.
Taufik, petugas SPBU di Palu mengatakan saat ini jatah premium di tempatnya hanya 16 ton per hari, dan itu habis dalam waktu sekitar empat jam.
Pasokan itu kurang hampir dari setengah jatah biasanya yang dikirim Pertamina.
Kelangkaan BBM bersubsidi selama beberapa pekan terakhir diduga kuat disebabkan penimbunan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, isu tentang rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM juga membuat masyarakat panik.
Beberapa waktu lalu aparat TNI AD menggagalkan upaya penimbunan solar bersubsidi di SPBU yang berada di Jalan Dewi Sartika, Kota Palu.
Penimbunan solar itu menggunakan mobil yang di dalamnya terdapat tangki berkapasitas hingga seribu liter.
Komandan Kodim 1306/Donggala Letkol Inf Trijoko mengaku telah menyerahkan pemilik berikut mobil dengan tangki raksasa itu ke Polres Palu untuk segera ditindaklanjuti.
Sebelumnya, masyarakat juga menangkap warga yang membeli BBM bersubsidi hingga ratusan liter dan telah diserahkan di Polres Palu.
Pembeli nakal itu menggunakan mobil yang tangkinya telah direkayasa sehingga bisa memuat hingga 500 liter BBM.
BBM bersubsidi tersebut akan dijual ke pengusaha Galian C yang seharusnya membeli solar nonsubsidi atau dengan harga industri.
Pembelian BBM bersubsidi secara berlebihan tersebut menimbulkan kelangkaan solar hingga menyebabkan antrean panjang yang sempat mengganggu pengguna jalan lainnya.
Baru-baru ini aparat gabungan juga menangkap penimbun BBM subsidi di Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala.
Sebelumnya, Komandan Korem 132/Tadulako, Sulawesi Tengah, Kolonel Inf Ilyas Alamsyah Harahap berjanji akan menindak tegas anggotanya jika ada yang menimbun solar atau melindungi praktik kotor tersebut.
"Kalau ketahuan saya sikat," kata pimpinan tertinggi TNI AD di Sulawesi Tengah ini.
Sementara Kepala Subdit Industri dan Perdagangan Ditreskrimsus Polda Sulawesi Tengah AKBP Jhony Inu tidak memungkiri adanya mafia BBM di Sulawesi Tengah namun pihaknya tidak kuasa bertindak karena melibatkan masyarakat kecil.
Dia mencontohkan, SPBU di Kelurahan Kayumalue, Palu Utara, hanya melayani pembeli menggunakan jeriken. Bahkan pengguna kendaraan yang hendak membeli premium dilarang masyarakat pemilik jeriken dengan alasan BBM tersebut telah dijatah.
"Kami tidak bisa berbuat banyak karena mereka beralasan BBM itu untuk masyarakat yang berada di pegunungan yang kesulitan akses membeli bensin atau solar," katanya.
Tindak tegas
Menanggapi itu, Ketua Organisasi Sosial Pekerja Ojek (OSPO) Kota Palu Abdul Wahid mendesak aparat bertindak tegas terhadap para penimbun BBM atau warga yang membeli dengan jeriken karena aktivitasnya mengganggu roda perekonomian.
Bahkan, ibarat cendawan di musim hujan, saat ini banyak bermunculan penjual bensin eceran yang menjual premium seharga Rp10 ribu per botol berisi nyaris satu liter.
Pedagang bensin eceran itu tidak malu-malu berjualan di sebelah SPBU. Di sini ketegasan aparat ditantang.
Seorang pedagang bensin eceran di Jalan I Gusti Ngurah Rai mengaku turut mengantre membeli BBM subsidi menggunakan mobil berkali-kali, setelah itu mengecernya di pinggir jalan.
Bahkan sopir angkutan umum juga melakukan hal serupa dengan alasan banyak mendapat untung ketimbang harus berkeliling mencari penumpang.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengaku akan menertibkan penjualan premium eceran karena hal itu sebenarnya menyalahi aturan.
"Nanti kami akan tertibkan mengingat saat ini premium susah didapatkan," kata Asisten II Sekdaprov Sulawesi Tengah Bunga Elim Somba baru-baru ini.
Elim Somba menilai pengecer premium tersebut terlalu banyak mengambil keuntungan. "Bisa saja ini salah satu hal yang menyebabkan kelangkaan BBM saat ini," ujarnya.
Untuk mengatasi kelangkaan BBM, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengajukan tambahan kuota BBM ke Pertamina agar kelangkaan komoditas itu bisa teratasi.
Bunga Elim Somba mengatakan stok BBM di wilayahnya pada 2014 untuk premium sebanyak 332 ribu ton, minyak tanah sebanyak 56 ribu ton, dan solar sebanyak 131 ribu ton.
Dia mengatakan pasokan BBM di Sulawesi Tengah selama tiga tahun terakhir tidak mengalami penambahan berarti. "Oleh karenanya, Gubernur Sulteng langsung menyurat ke Pertamina di Jakarta untuk minta penambahan pasokan," kata Elim Somba tanpa menyebut spesifik tambahan yang diajukan.
Menurutnya, pesatnya pembangunan di Sulawesi Tengah saat ini membutuhkan bahan bakar yang banyak sebagai penggerak ekonomi. "Selain itu, pertumbuhan jumlah kendaraan juga semakin pesat," ujar asisten bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat ini.
Bahan bakar minyak adalah komoditas yang dibutuhkan masyarakat banyak. Seperti yang dikatakan Ketua OSPO Kota Palu, Wahid. Pemerintah tak perlu lama-lama menunda menaikkan harga BBM.
"Jangan buat masyarakat menunggu. Berapapun naiknya harga BBM, pasti akan dibeli. Asal masih dalam batas kewajaran," ujarnya.
Ketegasan aparat, baik itu pemerintah, TNI atau Polri, merupakan kunci utama untuk menghapus mafia BBM. Masyarakat juga diminta mengawasi apabila ada oknum aparat terlibat. Namun ini akan lebih sulit jika masyarakat sendiri juga terlibat dengan menjual bensin eceran.
Oleh Riski Maruto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014